Islam dan Moralitas di Masa Pandemic COVID –19

Islam dan Moralitas di Masa Pandemic COVID –19

Pandemi Covid19 adalah potret kegagalan paradigma global yang terpolarisasi dan terhegemoni dalam sistem peradaban positivisme yang bercirikan liberalistis, antroposentris, dan materialistik. Penilaian itu sah-sah saja untuk memacu adrenalin peradaban Islam yang sangat lama tertidur. Namun ada hal yang lebih penting dan fundamental yaitu apa yang dapat dilakukan oleh dunia Islam pasca pandemi Covid19 melandai?

Terdapat tiga aliran pandangan dalam peluang peradaban Islam.

Pertama, aliran skeptisisme. Pandangan ini berdasarkan pada suasana psikologis peradaban Islam yang merasa sudah habis harapan (hopeless) bahkan juga tak punya lagi kebanggaan peradaban di depan capaian kemajuan peradaban Barat yang sudah delapan abad menguasai peradaban dunia.

Kedua, aliran realisme. Peradaban Islam yang masih layak dibanggakan adalah kemajuan aspek spiritual dengan inisiasi-inisiasi pembaruan Islam yang diserukan oleh para pembaru pemikiran dunia Islam kontemporer seperti Thariq Ramadhan dengan tawaran konsep Al-Badîl ats-Tsaqafy.

Ketiga, aliran optimisme. Bagaimana menjadikan krisis peradaban global akibat dampak Covid 19 menjadi peluang bagi peradaban Islam untuk mengejar ketertinggalannya di hadapan peradaban lainnya melalui upaya pembuktian bahwa peradaban Islam dengan segala nilainya mampu mewarnai dan bahkan lebih siap menjadi tatanan peradaban baru (the new normal).

Pandangan optimisme ini juga berangkat dari adanya suatu hadis yang menafsirkan Al-Qur’an Surah Al-Insyirah ayat 5-6, dari Anas, ketika itu Nabi Saw sedang duduk dan sekelilingnya ada lubang. Beliau bersabda, “Seandainya kesulitan itu datang dan masuk dalam lubang ini, maka akan datang kemudahan dan ia turut masuk ke dalam lubang tersebut sampai ia mengeluarkan kesulitan tadi.” Lantas turunlah potongan ayat yang disebutkan di atas (Al-Insyirah: 5-6). (HR. Al-Hakim).

Dunia Islam memiliki modal perenial dalam membangun the new normal yang lebih kompatibel terhadap hikmah di balik pandemik Covid 19. Aliran optimisme meyakini bahwa the new normal akan melirik peradaban Islam melalui tata nilai dan ajaran di sektor ibadah (fiqh) maupun teologis (aqidah). Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin telah memulainya dengan optimisme bahwa Fiqih Islam dapat menjadi solusi penyelesaian pandemic Covid 19 (Fiqh New Normal).

Menurut Philips Jenkins agama masa depan adalah Islam. Alasan Jenkins ada dua, yaitu usia hidup pemeluk Islam relatif lebih panjang karena didominasi oleh usia milenial, dan grafik pertumbuhan pemeluk Islam lebih cepat dibandingkan agama lainnya dengan laju pertumbuhan sekitar 22,5 persen. Sehingga diperkirakan pada tahun 2050 penganut muslim mencapai 27 persen dari seluruh penduduk dunia. (Slamet Effendy Yusuf & Arif Fahrudin: 2013).

Dalam khazanah fiqih, Islam memiliki mekanisme ritual kebersihan tubuh yang lebih lengkap berupa aturan kebersihan dan kesucian tubuh (thaharah) meliputi wudhu, mandi (ghusl), bersuci dari kotoran yang keluar dari tubuh (istinja’) yang  mengharuskan seorang muslim selalu berpola hidup bersih bagi tubuh dan lingkungannya dengan material air sebagai medium inti (QS. Al-Maidah: 6). Wudhu akan menjaga kebersihan daerah wajah dan tangan seorang muslim dari kotoran. Islam juga memiliki tuntunan etika saat seorang muslim batuk dan bersin agar tidak merugikan kesehatan orang di sekitarnya. Islam memiliki konsep karantina wilayah (lockdown) saat menghadapi persebaran wabah penyakit.

Dalam situasi pandemi Covid 19, nilai-nilai intrinsik Islam tersebut secara faktual menjadi acuan protokol kesehatan dalam penanggulangan Covid 19. Sehingga antara ajaran Islam dan problematika zaman berupa pandemi Covid 19 berada dalam titik temu yang bersifat solutif dan kompatibel.

Usai pandemi Covid 19, tatanan dunia diyakini akan melirik Islam. Dalam konteks ini, Islam dalam bingkai universal-non parsial dinilai mampu menawarkan the new normal. Grafik pemeluk baru Islam (muallaf) diprediksi semakin memperkuat tesis Jenkins bahwa Islam adalah agama masa depan. Dalam konteks inilah, dunia Islam seharusnya sudah menyiapkan diri akan dibawa ke mana Islam masa depan. Dan itu harusnya sudah dimulai dari sekarang.

Peradaban Islam memiliki peluang besar untuk mewarnai “tatanan baru” (the new normal) pasca pandemi Covid 19. Namun, tentunya ekspektasi tersebut harus disertai dengan beberapa catatan besar.

Pertama, menguatnya komitmen persaudaraan (brotherhood) di dunia Islam yang meliputi komitmen persaudaraan sesama muslim (ukhuwah bayna al-muslimin), persaudaraan sesama komponen bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan sesama umat manusia (ukhuwah insaniyah). Kode Etik Ukhuwah yang telah dihasilkan oleh Majelis Ulama Indonesia sangat fundamental dan praksis untuk dijadikan panduan dan bimbingan. (Wantim MUI: 2015).

Kedua, kemampuan dunia Islam dalam pembuktian bahwa dirinya mampu keluar dari berbagai problematika peradaban yang multikompleks. Islam hendaknya mampu menjadi role model solusi krisis peradaban global seperti krisis lingkungan hidup, krisis sumber daya alam (QS. Al-Qashash: 77), dan krisis kemanusiaan (QS. Al-Hujurat: 10).

Ketiga, pembuktian dunia Islam sebagai motor inovasi kebudayaan. Dunia Islam mampu menjadi trend setter riset dan penemuan teknologi kontemporer multi sektor seperti teknologi industri ramah lingkungan, teknologi pangan yang menyehatkan, dan teknologi kesehatan yang mampu membuat usia harapan hidup umat manusia menjadi lebih lama. Teknologi perdamaian yang membuat seluruh penduduk bumi terlindungi hak-hak dasarnya seperti hak rasa aman. Inilah yang diharapkan oleh Al-Qur’an bahwa sejatinya umat Islam menjadi saksi kemajuan peradaban dunia (syuhada’ ‘alan nas) (QS. Al-Baqarah: 143).

Ketiga prasyarat modalitas peradaban Islam menyongsong the new normal tersebut sejatinya mengalami konformitas dengan derap langkah peradaban agama-agama lainnya. Pandemi Covid 19 telah menunjukkan runtuhnya antroposentrisme dan menguatnya religiusitas. Sehingga, Islam dan agama-agama lainnya sejatinya sedang kembali menuju tata peradaban yang berpusat kepada tuntunan Tuhan namun dengan dinamika yang mendewasakan agama-agama di pentas sejarah masa lampau. Sehingga tampilnya peradaban religius di pentas the new normal termasuk Islam di dalamnya adalah dalam format yang universal-non parsial, lebih dewasa, arif, dan tetap mengakomodir dimensi kemanusiaan yang tidak kontradiktif dengan tuntunan luhur agama. Kajian ini dilaksanakan oleh bagian PUSKAJI PPIDK pada tanggal 25 Desember 2020 bersama narasumber Bpk. Dr. Jazilul Fawaid, SQ,MA yang merupakan Wakil MPR RI 2020-2025 dan Bpk. KH. Arif Fachrudin yang merupakan Wakil Sekretaris Jenderal MUI 2020-2025.

Penulis: Aisyah Irsyad (Mahasiswi S1 Universitas Alqasimia, Emirat)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *