Seputar Perdebatan antara Grand Syekh al-Azhar dan Rektor Universitas Kairo

Penulis:
Hamidatul Hasanah

Sebelum saya membaca buku Nahwa Ta’sîs ‘Ashr Dîniy Jadîd karangan Prof. Osman al-Khasyt, Rektor Univ. Kairo, relasi antara Universitas Kairo dengan al-Azhar yang tergambar di benak saya ialah relasi kontradiktif. Relasi ini terjadi antara dua hal, yang pertama bersifat ada (wujûd), dan kedua non-wujud (lâ-wujûd). Kesimpulan yang dihasilkan dari dua buah premis yang bertentangan (tanâqadlâ) ialah yang satu akan benar, dan lainnya salah.

Bahkan saat saya sedang membaca, batin saya masih saja memprovokasi hal itu. Perasaan demikian mungkin saya dapati dari beberapa hal yang pernah saya alami, di antaranya: komparasi seminar-seminar yang dihelat oleh kedua institusi tadi, perbedaan materi-materi di jurusan yang sama, maupun kritik ilmiah yang saling ‘dilempar’ oleh cendekiawan masing-masing dari keduanya. Lebih-lebih ketika saya mendapati bahwa buku itu merupakan kumpulan esai yang dimuat di harian nasional Mesir, al-Watan sejak 2013-2015, saya sempat terkekeh dan curiga.

Buku tersebut merupakan hadiah untuk  Grand Syekh al-Azhar (GSA), dari Prof. Osman al-Khasyt (OK), saat ia menjadi panelis di Muktamar al-Azhar Internasional untuk Pembaharuan Pemikiran Islam, 27-28 Januari lalu. Entah bagaimana, namun akhirnya buku itu viral sebagai buku yang dikritik oleh GSA di forum muktamar. Saya melihat bahwa bukan buku itu yang dikritik. Kritik GSA terhadap OK sebagaimana di video ialah tanggapan atas pernyataan yang dipaparkan oleh OK saat presentasi terkait konsep pembaharuan dan kedudukan teks-teks yang pasti (al-qath’i) dan yang masih menimbulkan berbagai penafsiran (al-zanniy).

Buku yang dimaksud hanya piranti debat yang digunakan oleh GSA dalam menanggapi kaidah relasi antara kebenaran mutlak, relatif dan kebenaran yang masih diragukan, bukan kritik isi buku sebagaimana isinya. Ini juga ditegaskan oleh GSA bahwa ia—sebab baru saja dihadiahi—belum membaca isi buku itu. Namun jika dilihat dari kondisi epsitemologis yang terjadi saat itu, saya menangkap bahwa GSA sedang merobohkan bangunan paling fundamental yang, tidak hanya isi buku, bahkan seluruh pemikiran OK dibangun di atasnya. Artinya, saat seorang pemikir keliru menggunakan teori dasar premis-premis logis, maka kesimpulan yang dibangun melaluinya disangsikan kebenarannya.

Apa yang terjadi antara GSA dan OK merupakan hal yang mesti kita perhatikan. Pertama, mari kita lihat video sebagaimana ia video debat antarkeduanya. Video yang diviralkan oleh akun Facebook harian al-Youm al-Sabi’ ini mendapatkan respon beragam, dari yang serius dan ilmiah, sedang, hingga terkesan rundungan; dari kritikan terhadap GSA dan al-Azhar, dukungan untuk OK, hingga kritikan untuk keduanya. Namun di sini, saya akan mengetengahkan komentar kritik atas sikap GSA yang diwakili oleh pihak-pihak progresif-bebas berpikir.

Cherif Tawtaw, seorang pemikir asal Aljazair mengatakan bahwa OK berbicara di forum tersebut dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir, bukan tokoh agama. Sehingga, ungkapnya, OK tidak layak membicarakan hal-hal partikular seperti tafsir, akidah, fikih dan seterusnya. Ia menganggap apa yang terjadi antara OK dan GSA merupakan semacam lelucon. Bagaimana saat seorang pemikir berbicara hal-hal universal, dikritik di ‘kandang tradisionalis’ oleh seorang tokoh agama yang selalu berbicara hal-hal praktis-partikular.

Menurutnya juga, al-Azhar memiliki peran ganda. Yang pertama, sebagai kuasa-politis, dan kedua, sebagai kuasa-intelektual otoritatif. Sebagai lembaga yang mempunyai pengaruh, tidak jarang al-Azhar dilihat sebagai institusi yang dependen terhadap negara, tidak mandiri dan tidak netral. Hal yang kemudian dinyatakan juga oleh Karem Sayyad, murid Hassan Hanafi dan dosen filsafat di Universitas Kairo. Ia mengatakan lebih jauh, bahwa untuk bisa memperbaiki agama (al-ishlâh al-dînîy) al-Azhar mesti mengundurkan diri dari perannya yang menghegemoni-paksa (riqâbiy) dan menguasai (sulthawiy).

Menurut saya, kritik yang dilontarkan oleh Cherif tidak bisa sepenuhnya diterima. Sebab, kedua tokoh sedang membicarakan turâts dan pembaharuan pemikiran di dalam agama Islam—bukan pembaharuan agama. Wacana pembaharuan tersebut merupakan persoalan partikular. Artinya, keduanya sepakat akan adanya hal-hal yang statis dan dinamis di dalam turâts agama, dan sepemahaman bahwa turâts merupakan ruh utama kepribadian umat Islam sepanjang masa. Perbedaannya terletak pada bagaimana kita menyikapi yang statis-dinamis tadi serta bagaimana mengeejawantahkan semangat turâts hari ini.  Sampai di sini, ketimpangan konten debat antara partikular (juz’iyyât) dan universal (kulliyyât) tidak terjadi. Keduanya sedang mendebatkan persoalan partikular.

Selain itu, segmentasi yang dinyatakan oleh Cherif bahwa kapasitas seorang pemikir berbeda dengan kapasitas tokoh agama menemukan momentumnya jika tokoh agama tersebut berbicara di ranah masyarakat awam dengan menggunakan retorika ceramah, koleksi dalil, kisah-kisah Nabi dan seterusnya. Namun secara piranti dan tahapan-tahapan metodologis, keduanya sama-sama diisyaratkan mesti menguasai ilmu-ilmu logis. Sindiran Cherif bahwa tokoh agama selalu tekstualis non-metodologis barangkali tepat jika yang ia maksud ialah kelompok-kelompok kanan.

GSA, di dalam muktamar hanya menanggapi beberapa hal terkait konsep fundamental terkait dengan metodologi berpikir. Ia menyatakan bahwa pembaharuan terhadap sebuah rumah misalnya, mesti dilakukan di dalam rumah itu, bukan meninggalkannya meski dengan setumpuk penghormatan sebagaimana yang dimaksud OK, sebab yang demikian justru bermakna abai dan pernyataan perpisahan secara halus.

Jika kembali kepada rekaman video, OK di dalam presentasinya mengajak kita meninggalkan Asyariyah. Sebab, dalil-dalil yang dijadikan landasan ialah hadis-hadis ahad, bukan mutawatir. Saya berbaik sangka pada OK mungkin ia lupa bahwa tidak ada satupun teori di dalam ranah teologis yang boleh merujuk pada selain mutawatir. Namun, yang menarik perhatian saya ialah bahwa bagi kalangan progresif, kronologi sejarah memainkan peran signifikan. Mereka melihat bahwa selama kita masih disetir oleh nalar orang-orang yang telah mati, maka selamanya kita akan didikte dan terbelakang. Mereka juga melihat bahwa kejayaan Muktazilah hanya jaya di zamannya, kekuasaan Asyairah hanya bisa mengatur orang-orang kala itu, oleh sebab hari ini manusia dan kondisinya berbeda, maka kita juga mesti bersikap berbeda dari yang telah lalu. Cara pandang semacam ini yang sering berujung pada slogan ‘hum rijâl wa nahnu rijâl’.

Forum muktamar tersebut cukup penting bagi saya untuk melihat bagaimana narasi-narasi ilmiah disampaikan, etika berdebat dan mengapa kemampuan berpikir ilmiah penting dipelajari. Setelah membaca buku OK, relasi kontradiksi yang disebut di muka mulai terkikis. Antara OK dan GSA, yang mari kita samakan dengan madrasah Kairo dan al-Azhar memang memiliki perbedaan yang tajam dalam beberapa hal. Di dalam pemikiran, Kairo berkiblat ke filsafat Barat, aufklarung, sedangkan al-Azhar lebih ke intuisi-tasawuf. Dalam ranah ideologi-teologis, Kairo Muktazilian dan al-Azhar Asyarian (lihat di buku panduan metodologi al-Azhar karya GSA). Progresif merupakan seni yang dipakai oleh Kairo dalam mengolah teks-teks turâts maupun dalam filsafat pendidikan, sedangkan al-Azhar lebih ke moderat-tradisionalis. Secara orientasi nilai (value orientation), Kairo sedang ingin menentukan posisi manusia di alam makro dan mikro (antroposentris), sedangkan al-Azhar masih menjunjung tinggi kesucian Zat Ilahi (teosentris).

Di antara itu semua, satu hal menarik yang sedang sama-sama diperjuangkan ialah: mari kita sama-sama mengolah nalar.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *