Apakah Kematian adalah Sebuah Ketiadaan?

Apakah Kematian adalah Sebuah Ketiadaan?

Penulis:
Hamidatul Hasanah

‘Ia telah berpindah ke sisi Yang Maha Kuasa’, ‘ia telah tiada’, dan ‘ia telah pergi meninggalkan kita’. Beberapa kalimat tersebut merupakan ungkapan yang sering diucapkan ketika seseorang telah meninggal dunia. Sebagaimana diksinya, kata ‘meninggal’, ‘meninggalkan’, atau ‘tiada’ memberi makna bahwa ia tidak ada lagi di depan kita. Kita tidak lagi bisa merasakan kehadirannya sebagaimana kemarin ia hidup di dunia. Orang-orang bilang, mereka yang telah meninggal sejatinya masih ada, mereka hanya berpindah dimensi ke dunia yang lain dari dunia kita.

Lantas apa makna ‘tiada’? Apakah kematian merupakan sebuah ketiadaan? Jika orang yang telah meninggal dunia kita katakan masih hidup, maka apa bedanya hidup kita dengan mereka? Bukankah setiap yang hidup bisa diindra?

Saya belum pernah mengikuti upacara kematian di pemakaman umum. Terakhir kali ada kesempatan untuk itu ialah saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saat nenek menutup usia senjanya. Saya tidak mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir. Saya belum memahami betul apa kematian itu. Waktu itu saya masih menganggap kematian ialah sebuah kepastian yang akan menimpa orang-orang yang telah hidup di dunia.

Cara pandang kita terhadap kematian selama ini berbeda-beda. Kalangan dokter dan tenaga medis serta masyarakat awam biasanya melihat kematian sebagai penghentian total seluruh organ. Sedangkan kalangan lain melihat kematian sebagai proses permainan diksi yang diilhami oleh pemaknaan atas keberadaan manusia di bumi, apa yang ingin dicapai dari esensi hidup dan mati dan kesadaran penuh atasnya sebagai sesuatu yang ada di genggaman kuasa Tuhan.

KBBI memaknai ‘mati’ dengan sudah hilang nyawanya dan tidak hidup lagi; tidak bernyawa dan tidak pernah hidup. Definisi ini selaras dengan ilmu medis, di mana ketika detak jantung terhenti, maka aktivitas semua organ juga turut terhenti hingga sel-sel tubuh tidak berfungsi secara total. Buktinya, saat kita memanggil namanya, ia tidak akan pernah bisa merespon kita. Saat kita ajak ia berbicara, ia tidak akan bergeming sama sekali. Dari sini lantas kita mengamini bahwa kematian merupakan peristiwa biologis.

Namun apa yang membuat kematian begitu dekat dengan ketiadaan, dan lantas kita merasa kehilangan? Menurut saya, memaknai kematian sebagai proses biologis tidaklah cukup. Mengapa demikian? Sebab banyak dari kita yang memaknai kematian sebagai sebuah ketiadaan seseorang yang telah mati dari sisi kita di dunia. Yang lebih pedih dari itu barangkali saat psikis kita terguncang dan terasa ada sesuatu yang hilang dari dalam diri kita. Untuk menafsirkan gejala psikis ini, kematian perlu kita pahami dengan makna lain.

Kematian ialah peristiwa kebahasaan. Kita biasa mengatakan ‘ia ada’ dan ‘ia tiada’; ‘ia hidup’ dan kini ‘ia mati’. Pada tataran ini, tentu ia tidak semakna saat kita mengatakan ‘ini hitam’ dan ‘itu putih’, atau ‘ini panjang’ dan ‘ini pendek’. Dalam konsep lawan kata yang sama, mengapa pembicaraan tentang kematian terasa berbeda dari obrolan tentang panjang tali, misalnya? Di sinilah permainan bahasa menemukan momennya.

Dalam kajian linguistik kita mengenal adanta penanda dan tinanda. Penanda, misalnya berupa nama seseorang dan tinanda ialah seseorang dengan segala latar belakang dan kepribadian yang melingkupinya. Ketika kita mengatakan ‘selamat tinggal’, kata-kata itu hanya membentur sebuah kekosongan, si mayat tidak menjawab—kita tidak mendengar jawabannya. Menurut Taufiqurrahman di dalam esainya Bahasa (untuk) Kematian, hal semacam ini bukan karena efek kejiwaan sebab ditinggal orang-orang terdekat, namun lebih kepada bahwa pertanda transendental beserta seluruh horizonnya sudah tidak lagi bisa direngkuh oleh bahasa. Pada titik ini, kata-kata si penutur akan kembali memantul ke dirinya sendiri. Ia barangkali mengajak si mayat berbicara, memanggil namanya. Namun lagi-lagi, kata-kata tadi terpental oleh subjek yang pasif menuju dirinya sendiri.

Seorang filsuf linguistik kontemporer, Derrida, sempat berujar setengah sadar saat upacara kematian teman sekaligus gurunya, Emmanuel Levinas. Dalam emosi yang tidak stabil, ia mengatakan bahwa kematian bukanlah pelenyapan. Kematian bukanlah non-ada, bukan juga ketiadaan. Kematian ialah pengalaman orang yang masih hidup (survivor) dalam menghadapi ‘ketiadaan-tanggapan’ (without response).

Jika tesis Derrida lebih mengerucut kepada apa yang terjadi pada si penutur atas kematian, maka apa makna ‘kematian’ itu sendiri? Diskursus yang membahas kematian sebagai proses kebahasaan ialah ilmu kalam. Permainan diksi kalangan mutakalimin antara ada dan non-ada atau tiada, memberikan dampak penting dalam membahas kehidupan dan kematian, dan bagaimana kaitannya dengan yang-hadir dan yang-alpa. Al-Zamakhsyari, seorang Muktazili tersohor mengatakan di dalam al-Kassyâf, bahwa kehidupan ialah sesuatu yang dengannya indra bekerja, juga sesuatu yang dengannya makhluk harus disifati sebagai yang hidup. Dengan makna lain, ia yang bisa mengetahui dan mampu berbuat sesuatu. Menurut al-Zamakhsyari, kematian ialah ketiadaan sesuatu itu sendiri.

Fakhruddin al-Razi, mutakalim ulung dari kalangan Asyairah membahas diksi kematian secara lebih detail. Dalam Mafâtîh al-Ghayb, Al-Razi menyatakan bahwa kematian ialah ungkapan dari tiadanya sifat tersebut, menurut suatu kaum. Sedangkan menurut Asyairah, kematian merupakan sifat yang eksis sebagai lawan kata dari ‘kehidupan’. Buktinya, Allah Swt. dalam Surat al-Mulk ayat 2 mengatakan, “Yang menciptakan mati dan hidup…”; Tuhan tidak menciptakan ketiadaan.

Kematian dan kehidupan ialah makhluk yang diciptakan. Selama kematian merupakan makhluk, maka ia bukan ketiadaan. Karena ketiadaan merupakan penafian mutlak dan kekuasaan-Nya tidak mungkin mempengaruhi yang tiada.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *