Tantangan Alumni Timur Tengah dan Afrika: Menjalankan Fungsi sebagai Intelektual

Tantangan Alumni Timur Tengah dan Afrika: Menjalankan Fungsi sebagai Intelektual

Oleh: Arya Pradipta (PPMI Arab Saudi)

Seorang intelektual semestinya tidak terjebak dalam pusaran kepentingan praktis yang tidak berpihak kepada masyarakat. Lebih dari itu, ia juga dituntut untuk merealisasikan wacana yang ada serta mampu mengurai realitas sosial di tengah masyarakat. Gramsci menyebut model seperti ini sebagai intelektual organik. Sebaliknya, intelektual yang abai terhadap dinamika sosial dalam pandangan Gramsci merupakan wujud dari intelektual tradisional. Tidak hanya mengesampingkan kepentingan masyarakat luas, model kedua ini juga menjadi alat pembenaran bagi pihak yang berkuasa.

Konsep intelektual organik yang dirumuskan oleh Gramsci saja belumlah cukup dalam sudut pandang Muslim. Seorang intelektual seyogyanya melibatkan pula nilai-nilai keimanan dalam segala pemikiran serta aktifitasnya. Dalam hal ini, konsep ilmu sosial profetik yang dirumuskan oleh Kuntowijoyo menjadi relevan. Menurut Kuntowijoyo, agama (transendensi) harus menjadi pijakan dalam upaya mengangkat martabat manusia (humanisasi) serta membebaskan masyarakat dari perangkap kemiskinan dan struktur yang mengungkung (liberalisasi). Dengan kata lain, intelektual profetik bisa diartikan sebagai intelektual pembawa perubahan ke tengah masyarakat dengan bersandar pada pandangan keislaman.

Periode awal abad ke 20 di Indonesia mungkin bisa menjadi gambaran bagi kita bagaimana fungsi intelektual organik atau intelektual profetik dijalankan dengan baik oleh para alumni Timur Tengah dan Afrika di masa itu.

Kontribusi Alumni Timur Tengah dan Afrika di Awal Abad 20

Tersebarnya pusat-pusat studi keislaman, ulama, serta naskah-naskah klasik membuat kawasan Timur Tengah dan Afrika menjadi preferensi utama untuk melanjutkan studi ilmu agama, tak terkecuali  bagi pembelajar dari nusantara.

Interaksi keilmuan dengan berbagai kelompok membuat ide-ide pembaruan Islam dan semangat anti kolonialisme sebagai respon sosial yang terjadi di tubuh umat Islam kala itu bersemi di kalangan penuntut ilmu. Tidak jarang, mereka yang kembali pulang ke tanah air menjalankan fungsi sebagai agen perubahan di tengah masyarakat.

Nama-nama seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, ataupun Ahmad Syurkati adalah sedikit nama dari alumni madrasah-madrasah Timur Tengah dan Afrika yang berhasil menjawab isu-isu konkret di masyarakat serta turut mewarnai perjuangan bangsa Indonesia dalam bidang agama, sosial dan pendidikan.

Ahmad Dahlan misalnya. Melalui organisasi yang ia bentuk, gerakan Muhammadiyah tidak hanya terpaku dalam meluruskan praktik keagamaan yang melenceng, namun juga berupaya memberantas kebodohan kaum pribumi melalui sekolah-sekolah yang didirikan. Pendirian klinik, rumah miskin, serta panti asuhan merupakan refleksi kepedulian Muhammadiyah kepada golongan tak berpunya. Ruh keberpihakan Muhammadiyah terhadap kaum miskin dan marjinal tidak lepas dari tafsir Al Maun yang seringkali dikaji oleh Ahmad Dahlan bersama murid- muridnya. Pendek kata, usaha-usaha yang diinisiasi Ahmad Dahlan bersama generasi awal Muhammadiyah merupakan langkah-langkah sistematis mengentaskan masyarakat dari belengu kebodohan dan mengurangi dampak kemiskinan karena cengekeraman struktur sosial di masa itu.

Peranan Hasyim Asyari dan Ahmad Syurkati dalam menjawab persoalan konkret di tengah masyarakat juga tidak kalah penting. Bagi Hasyim Asyari, refleksi keimanan seorang Muslim dapat terwujud lewat perjuangan mengusir penjajah dari tanah air. Maka, tidak mengherankan jika kedatangan tentara Inggris di Surabaya pada tahun 1945 diresponnya dengan mengeluarkan resolusi jihad yang mampu menggerakkan puluhan ribu bahkan ratusan ribu santri.

Dalam permasalahan sosial lainnya, di lingkup yang lebih kecil, Ahmad Syurkati berjuang meluruskan pemahaman sebagian keturunan Arab di nusantara yang beranggapan bahwa para sayid memiliki kedudukan yang istimewa dalam struktur sosial masyarakat. Menurutnya, setiap muslim memiliki kedudukan yang setara tanpa memandang silsilah. Prinsip eksklusifitas yang diterapkannya membuat

kalangan non-Arab memiliki kesempatan mengeyam bangku pendidikan di sekolah yang ia dirikan.

Selain nama-nama yang disebutkan di atas, di bidang politik, kita mengenal Agus Salim yang juga sempat menimba ilmu di Mekkah. Sekembalinya ke tanah air, bersama HOS Tjokroaminoto, Agus Salim aktif menyuarakan hak-hak kaum pribumi, khususnya kelompok buruh, kepada pemerintah kolonial melalui Sarekat Islam. Tidak jarang, ia turun ke area perkebunan untuk menyaksikan sendiri kenyataan pahit yang diterima oleh para buruh. Aksi vokalnya membela dan memaparkan nasib kaum buruh di pertemuan internasional mampu membuka mata negara lain yang selama ini menjadikan Hindia Belanda sebagai mitra dagang. Bahkan, ada di antara negara-negara tersebut yang memilih merevisi kebijakan perdagangan mereka dengan pemerintah kolonial.

Tantangan di Masa Kini

Apa yang dilakukan founding fathers kita di masa silam hendaknya menyadarkan kita akan satu hal, yakni kemampuan mereka untuk membaca peta persoalan serta terlibat di dalam isu-isu konkret di tengah masyarakat. Jangan sampai sekembalinya ke tanah air, alih-alih menjadi agen perubahan, kita justru gagal bersikap kritis dan abai pada realitas sosial. Atau kedatangan kita ke Indonesia malah memunculkan wacana-wacana kontraproducktif yang mengakibatkan pertengkaran di internal kaum muslim.

Sudah selayaknya para alumni dari berbagai institusi pemikiran Timur Tengah serta Afrika mampu menjalankan fungsi sebagai intelektual dan merespon tantangan zaman yang terus berubah. Wacana yang dihadapi saat ini tentu berbeda dengan problematika masyarakat di awal abad ke 20.

Di bidang lingkungan misalnya, isu-isu seperti penanganan limbah industri yang tidak terkontrol, masifnya penggundulan hutan maupun alih lahan pertanian produktif merupakan sederet persoalan di masyarakat yang harus segera diselesaikan. Atau isu eksploitasi kaum buruh yang berulang kali terjadi. Belum

lagi masalah akses pendidikan yang semakin tidak terjangkau oleh masyarakat bawah.

Jika boleh jujur, deretan masalah di atas adalah realitas sosial yang selama ini kurang diperhatikan oleh eksponen umat Islam. Jangan sampai kegagalan kita merespon isu-isu tersebut membuat pihak lain menungganginya untuk kepentingan mereka sendiri.

Akhirnya, seperti yang dikatakan Gramsci, siapapun dapat menyandang titel sebagai intelektual. Intelektual tidak mesti dilahirkan dari rahim institusi pendidikan. Fungsi intelektual bisa disandang oleh siapapun, sepanjang mampu berkontribusi bagi lingkungan sekitarnya. Karenanya, lulus dari instansi pendidikan tidak menjamin kita mampu menjalankan fungsi sebagai seorang intelektual. Perjuangan menjadi seorang intelektual merupakan proses yang tidak sebentar. Daya literasi dan budaya diskusi harus senantiasa diasah agar mampu membaca realitas sosial di tengah masyarakat serta merumuskan solusi penyelesaian yang tepat.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *