Riba Menurut Perspektif Agama dan Ekonomi

Riba Menurut Perspektif Agama dan Ekonomi

Kajian Ekonomi Syari’ah sesi 2 (1 Desember 2020)

Dalam kaidah fiqh, hukum dasar segala kegiatan muammalah itu boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya. Di antara contohnya adalah jual-beli dan pinjam-meminjam barang atau jasa. Kegiatan jual-beli dan pinjam-meminjam sudah ada sebelum Islam datang, lalu, Islam  mengaturnya dengan syarat dan ketentuan yang sesuai dengan ajarannya.

Riba adalah salah satu kegiatan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Bahkan Allah melarangnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah Ayat 208, Allah menyebutkan bolehnya jual-beli dan mengharamkan riba.

Riba merupakan transaksi terlarang karena memakan harta dengan bathil. Dalam kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Imam Ibnu ‘Asyur, dijelaskan tentang makna kata ‘bathil’ menjadi 3 bagian. Pertama, bathil menurut logika itu seperti mencuri, berbohong, dan lain-lain. Kedua, bathil menurut nash, yaitu menurut Al-Quran dan sunnah (hadits). Ketiga, bathil menurut ijtihad ulama’.

Larangan riba bukan merupakan hukum  baru yang hanya ada dalam Islam saja. Namun, pelarangan riba sudah ada sejak sebelum adanya Islam. Aristoleles, seorang filsuf Yunani, menyebutkan  bahwa riba dapat menghancurkan negara, hal ini selaras juga dengan apa yang disampaikan oleh Plato. Maka, riba dapat dikategorikan haram pada seluruh agama karena terdapat kezhaliman sebagai penyebab utama dilarangnya praktek riba. Namun, salah satu perbedaan Islam dan agama lainnya adalah Islam secara tegas mengharamkan riba secara mutlaq tanpa tawar-menawar.

Rasulullah menjelaskan 6 macam barang ribawi yaitu emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam.

Para ulama’ atau pakar fikih sendiri berbeda-beda dalam cara mengidentifikasi riba. Imam Abu Hanifah dan imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa illat (alasan) dalam 6 macam tersebut adalah al-wazan (timbangan) dan al-kail (takaran). Imam Malik mengatakan illat di dalam emas dan perak adalah al-naqdiyah (mata uang) dan pada selain keduanya adalah al-qut (makan penguat) atau yang bisa disimpan. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa illat di dalam emas dan perak adalah mata uang dan pada selain keduanya adalah makanan.

Madzhab yang kita ikuti di Indonesia dalam mengidentifikasi riba adalah madzhab Syafi’i. Maka setiap mata uang hukumnya sama seperti emas dan perak, dan setiap makanan hukumnya sama seperti gandum dan lainnya. Cara ini disebut dengan qiyas di dalam ilmu ushul fiqh. Namun dengan berkembangnya zaman dan teknologi yang semakin maju, ini menyebabkan banyak perbedaan tentang barang ribawi. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang bahwa yang mengatur atau yang menyatakan transaksi di Indonesia  haram atau tidak adalah Lembaga Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia (DSN MUI).

Dampak negatif riba sangat banyak, baik dalam segi ekonomi maupun agama. Beberapa contoh  dampak riba dalam sisi ekonomi adalah kezaliman menyebar luas, terjadinya inflasi, bubble economy sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2008, menghambat investasi, dan mengganggu mekanisme pasar. Sementara dari sisi agama, dengan memakan riba menyebabkan pelakunya mendapat laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah. Riba merupakan perbuatan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, pemakan riba diancam dengan neraka jika tidak bertaubat, Allah tidak akan menerima sedekah yang diperoleh dari riba, dan do’a seorang pemakan riba tidak akan terkabul.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa praktek riba adalah sesuatu yang dilarang dalam agama dan juga berdampak buruk bagi ekonomi. Salah satu bukti dampak buruk riba adalah krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008, diawali dengan kejadian subprime mortgage  di Amerika Serikat. Dengan ini masyarakat dunia sadar akan bahayanya riba dan segera menghentikan praktek riba agar terciptanya kestabilan ekonomi dan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Kajian ini dilaksanakan oleh bagian Pusat Kajian Perhimpuna Pelajar Indonesia Dunia Kawasan Timur-Tengah dan Afrika (Puskaji PPIDK Tim-Teng Ka) pada tanggal 1 Desember 2020. Hadir sebagai narasumber Ketua MUI Pusat, K. H. Cholil Nafis, Ph.D, dan Financial Expert Halofina & Anggota DSN-MUI, Mohammad B. Teguh.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *