Menyoal Kontribusi Alumni Timur-Tengah; Sebuah Autokritik

Menyoal Kontribusi Alumni Timur-Tengah; Sebuah Autokritik

Oleh: Makkis Fuadatal (PPMI Mesir)

Saya rasa tidak perlu diragukan lagi, hampir semua orang mengamini bahwa lulusan Timur-Tengah dan Afrika (Timtengka) pasti dapat memberikan kontribusi terbaiknya untuk bangsa. Tentunya harapan-harapan tersebut juga sejalan dengan apa yang ada dalam hati setiap pelajar di Timtengka yang ingin ikut andil untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik, terutama di rumah sendiri, nusantara. Hal baik ini disambut hangat dengan adanya bantuan dari organisasi-organisasi jaringan alumni Timtengka seperti OIAAI, JATTI, IKAT dan JAMI. Dimana, berbagai organisasi yang saya sebutkan di atas hanyalah sedikit contoh dari organisasi yang dipelopori oleh alumni lembaga pendidikan alumni Timtengka.

Ruang lingkup studi di Timtengka yang berpusat pada ranah agama sebagai seorang praktisi, menjadikan alumninya cukup memiliki nilai jual tersendiri. Setidaknya bagi sebuah negara dengan penyumbang kaum muslim terbanyak di dunia, serta kondisi di Indonesia yang memandang keberagamaan sebagai konsumsi publik, embel-embel agama memang bisa dibilang cukup menarik. Diskursus agama tidak pernah sepi, selalu ada debat perkara halal-haram atau hanya sekadar pertanyaan sebuah dalil melakukan sesuatu. Di tengah kompleksitas yang terjadi di tengah masyarakat kita ini, saya tidak pesimis bahwa alumni Timtengka akan sulit membangun karirnya, akan tetapi hal ini justru menjadi titik paling krusial, sudah sejauh mana persiapan (calon) alumni Timtengka untuk memberikan kontribusinya kepada bangsa?

Timtengka dan Kritik Atas Narasi

Jauh sebelum pertanyaan, “Apa yang alumni Timtengka bisa berikan terhadap Indonesia?” menurut saya perlu ada beberapa perkara yang perlu diluruskan. Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Mesir awal tahun 2017, saya mendengar beberapa spekulasi yang bernada ‘mahasiswa di Timtengka –dengan tidak mengkhususkan Mesir sebagai negara tempat saya tinggal sekarang— itu sepi dari narasi’. Pernyataan ini terus saya diamkan, hingga ketika saya mengikuti wawancara sebagai anggota PPIDK Timtengka, salah satu pertanyaan yang terlontar saat itu ternyata juga menyangkut pertanyaan terkait; “Bagaimana meningkatkan literasi di Timtengka”. Dari dua kejadian di atas, setidaknya imajinasi (tashawur) saya mengenai literasi (narasi baca tulis) terhadap mahasiswa di Timtengka menemukan momentumnya. Hal ini adalah masalah klasik dan ternyata tidak hinggap di kepala saya seorang. Namun, sebelum meracau lebih jauh, mengapa kita perlu mempermasalahkan narasi literasi sebagai bentuk sebab-akibat sebuah kontribusi? Seberapa berdampaknya memang sebuah kontribusi jika narasinya biasa-biasa saja?

Pada titik ini, saya tidak meragukan pelajar yang pulang ke tanah air serta membawa ijazah licence (gelar sarjana strata satu) atau MA (magister agama)-nya tidak melalui proses literasi (baca tulis). Namun, saya akan membawa kepada cakupan yang lebih luas; proses pembacaan terhadap fenomena sosial sekitar, dialog dan pembentukan ide, hingga penggunaan dasar kaidah kebahasaan. Pada titik inilah saya merasa cara ajar di kampus tidak bisa dijadikan acuan ‘cukup’ sehingga pulang kuliah bisa berleha-leha. Proses belajar yang searah bahkan cenderung konservatif-tekstualis, dimana kita dituntut untuk terus dijejali dan menerima materi menurut saya tidak akan membawa kita memahami lebih baik dibanding dialog.

Katakanlah kita menyepakati bahwa mahasiswa Timtengka tidak lagi sepi narasi dengan banyaknya komunitas-komunitas yang ada. PPI masing-masing negara, lembaga-lembaga afiliatif hingga komunitas lintas negara seperti PPIDK Timtengka, yang mana dari setiap komunitas-komunitas tersebut pasti memiliki sebuah program kerja keilmuan. Dari program kerja ini kemudian lahirlah semacam webinar atau dialog yang hanya dihadiri segelintir orang karena (mungkin) sangat normatif, tidak menarik, atau justru mahasiswanya yang malas. Kegiatan-kegiatan ini lantas menjadi realitas keseharian para mahasiswa di Timtengka. Narasi yang sering dipermasalahkan di awal sub-judul ini juga tidak lebih bernada demikian, tema-tema klise tanpa bisa mengkontekstualkannya dengan realita yang ada. Sehingga, jika kita mengamini mahasiswa Timtengka tidak lagi sepi narasi dengan ramainya ajakan dialog di media massa, lantas media massa tersebut dapat merepresentasikan realitas publik dengan jujur—meminjam bahasa James W. Carrey—saya kira kita bisa merasakan kejujuran seperti apa yang dihadirkan media-media (yang sekaligus juga mencerminkan realitas yang ada) kita.

Indonesia; PR kita bersama

Apapun kontribusi yang akan kita sumbangkan ke Indonesia nanti, label agama tidak akan pernah lepas sebagai identitas yang kita bawa sebagai alumni Timtengka. Di sinilah menurut saya penting untuk membaca realitas sosial menggunakan kaca mata agama, karena seperti yang saya sebutkan di awal, pembahasan agama selalu ‘laku’ di manapun dan apapun konteksnya.

Setidaknya dengan kita bersikap objektif setelah mengkontekstualisasikan agama dengan pembacaan yang segar kita tidak akan mendapati: pertama, terlalu tekstualis memahami sesuatu. Seperti misalnya ketika ada sebuah webinar yang mengangkat tema bank syariah sebagai bahas diskusi, tapi topik yang dipilih masih seputar ‘riba dari persektif agama’ (mengapa kita sibuk memicarakan hal yang sudah pasti dalam nas al-Qur’an?). kedua, ekstrimis dalam menghukumi sesuatu. Pada sebuah diskusi mengenai pernyataan Macron di awal Oktober tahun lalu, saya mendengarkan dengan jelas pernyataan seorang mahasiswa yang menukil dari sebuah kitab dan mengatakan bahwa orang yang diam saja ketika agama Allah dihina, maka ia juga termasuk ke dalam golongan orang tersebut.

Dua contoh di atas adalah sedikit dari sekian realita yang saya temui di sekeliling saya. Kontribusi alumni Timtengka tidak perlu diragukan lagi. Sokongan dan dukungan dari berbagai organisasi lembaga alumni melimpah. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menciptakan kesan agama yang menyenangkan, tidak saklek dan tentunya terus beriringan dengan zaman.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *