Matinya Nalar Kritis dalam Proses Pembelajaran Kita

Matinya Nalar Kritis dalam Proses Pembelajaran Kita

Penulis:
Hamidatul Hasanah

Saya tetiba teringat dengan tema yang dingkat sebuah buletin beberapa waktu lalu, Matinya Kepakaran. Garis besar yang ingin diketengahkan ialah menganalisis bagaimana orang-orang yang tidak kapabel berbicara dan masif menyatakan pendapat. Mengingat bahwa tidak ada yang mampu berbicara tentang kepakaran kecuali pakar, maka diksi ‘pakar’ kurang menarik untuk kita bicarakan. Barangkali, taraf minimal yang bisa kita bincangkan di sini ialah tahap awal menuju kepakaran itu sendiri: nalar kritis.

Mengapa saya sebut tahap awal? Pertama, alangkah baiknya jika melihat makna masing-masing dari kata tersebut. Pakar, dalam KBBI bermakna (orang) ahli, spesialis. Sedangkan kritis, di dalam kamus yang sama dimaknai sebagai bersifat tidak lekas percaya; bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; dan tajam dalam penganalisisan. Seorang dokter spesialis misalnya, sepertinya mustahil jika tidak jeli, teliti dan tajam mendiagnosa gejala yang menjangkit si pasien. Berawal dari ketekunan memahami teori hingga analisis mendalam dan ketelitian dalam praktiknya-lah, ia bisa menjadi seorang spesialis. Singkatnya, menjadi kritis ialah langkah awal menuju label ‘pakar’.

Kedua, saya sempat mengobrol dengan beberapa teman terkait hal ini. Dari simpulan sementara, saya mendapat kabar yang kurang baik. Alih-alih membicarakan bagaimana kita bisa kritis, malah muncul tudingan terhadap diri sendiri bahwa seorang yang kritis tidak mungkin membicarakan bagaimana menjadi seorang yang kritis—sebab hal ini akan bermuara pada siklus (dawr) dalam ilmu logika. Menurut Hassan Hanafi, di antara ciri seorang yang kritis ialah membicarakan prinsip (mabda’), bukan person (syakhsh). Sedikit banyak, hal ini terkait dengan ungkapan Socrates yang masyhur bahwa orang-orang kecil membicarakan personal, orang menengah membicarakan kejadian, dan orang-orang besar membicarakan ide-gagasan.

Lantas, apakah kita tidak bisa membicarakan maksud dari kata kritis itu sendiri? Saya rasa tidak. Menjadi kritis, berbeda dengan membicarakan bagaimana menjadi kritis. Saat seminar internasional tentang peringatan Hari Filsafat Internasional pada November tahun lalu di Universitas Kairo, sang rektor, Prof. Dr. Osman Khasyt, mengatakan bahwa mata kuliah ‘nalar kritis’ akan diresmikan sebagai mata kuliah wajib bagi mahasiswa tingkat satu Fakultas Sastra Jurusan Filsafat. Menurut beliau, hal ini dibutuhkan untuk menunjang mega-proyek Universitas yang sedang mengejar stempel sebagai pionir aufklarung di dunia Arab-Islam modern, sebagaimana termaktub di dalam selebaran resmi visi-misi Universitas. Begitu saya mendengar, saya tertegun: saya juga ingin mata kuliah senada diajarkan di kampus saya.

Sekilas, apa yang diajarkan di kampus al-Azhar sebagai pembawa misi dakwah Islam yang ramah berfokus kepada pengajaran warisan khazanah ilmu keagamaan Islam klasik dan kontemporer. Semua mata kuliah dari linguistik Arab, ilmu logika, akidah, fikih, ilmu hadis hingga metode dakwah secara lengkap disuguhkan kepada pelajar di tingkat satu dan dua. Jika boleh kita mengingat, mata kuliah yang diwajibkan bagi mahasiswi sebagaimana tersebut di atas bersifat ensiklopedis, utamanya untuk Fakultas Ushuluddin. Hal baiknya, kita akan mendapatkan gambaran yang cukup menyeluruh terhadap apa saja disiplin keilmuan Islam; dari yang teoritis seperti metode-metode telaah tafsir dan hadis hingga ilmu-ilmu praktis seperti logika dan akidah—di kampus-kampus di Barat biasa disebut general islamic studies. Sayangnya, sedikit banyak materi yang diajarkan oleh kampus rawan disalah-gunakan sebagai yang terberi begitu saja. Untuk dihafal dan diujikan, lantas sudah.

Apa dampaknya? Banyaknya jumlah mata kuliah lintas-disiplin tersebut disampaikan dalam konsep talaki di dalam ruang kelas. Sebagaimana makruf, praktik talaki lebih menekankan kepada ‘mendengar’ untuk kemudian ‘menceritakan’ daripada ‘memahami’ yang lantas beralih kepada sebuah diskusi tukar pikiran. Yang pertama bersifat monolog, yang kedua lebih memungkinkan terjadinya dialog. Dalam terori ilmu riwayat diceritakan bahwa di antara yang diperlukan kategori pertama ialah kuatnya hafalan dan tingginya kejujuran. Sedangkan pada kategori kedua, kita perlu kecakapan dalam mempraktikkan ilmu logika dan cara-cara berdebat yang elegan.

Kebiasaan ‘mendengar’ yang terulang-ulang dalam minimal empat tahun pada akhirnya akan menjadi sebuah malakah si pelajar dalam menghadapi berbagai persoalan, baik tekstual maupun kontekstual. Artinya, kecakapan seseorang akan bersiklus kepada ‘menyampaikan’ untuk ‘diperdengarkan’ dan ‘mendengarkan’ untuk ‘disampaikan ulang’. Sampai tahap ini, yang terjadi ialah proses menyampaikan materi ilmu, bukan bagaimana memahami muatan ilmu itu sendiri.  Orang bijak selalu mengatakan bahwa menyampaikan pemikiran orang lain sama sekali berbeda dengan memikirkan pemikiran tersebut.

Dalam ranah yang lebih luas, sebenarnya sistem belajar demikian diterapkan oleh hampir seluruh universitas di Mesir. Muna Abu Sinnah, dalam buku kumpulan esai yang berjudul Naqdu al-‘Aqli al-Ushûliy menjatuhkan tanggung jawab sepenuhnya kepada sistem pendidikan di Mesir, dari mulai tingkat dasar hingga jenjang pendidikan tinggi. Sebagai seorang praktisi pendidikan yang melek akan komparasi filsafat pendidikan di Barat dan Islam, keterpengaruhannya terhadap pencerahan Ibnu Rusyd membuatnya menyalahkan adopsi sistem taksonomi Bloom yang diwariskan oleh Inggris saat menjajah negaranya dulu.

Dalam taksonomi Bloom, tahapan awal mencapai sebuah ilmu pengetahuan ialah dengan menghafal lantas memahami. Meskipun ia mengakui ada tahapan lanjutan setelahnya, seperti menganalisis, mengevaluasi dan mencipta (berkreasi), namun ia menyayangkan praktik-praktik praktisi pendidikan yang hanya berkutat pada dua tahap awal. Ia mengatakan, kita keliru saat hari ini masih mengadopsi sistem yang telah lama ditinggalkan di Barat sejak tahun pertama penerapannya, oleh pihak yang sama. Saat taksonomi ini dipraktikkan di Inggris dan Amerika untuk waktu sekitar tiga tahun, pihak terkait merasa taksonomi tersebut tidak berguna, dan fase-fase belajar yang ada rawan dijadikan tahapan pilihan, daripada rangkaian tahapan yang berkelanjutan.

Mata kuliah lintas disiplin yang dibebankan kepada mahasiswa, sistem yang—sebenarnya bukan hanya—al-Azhar terapkan merupakan dua kondisi yang biasa ditemui saat memasuki kampus-kampus yang berfokus kepada studi Islam. Apakah ini lantas menjadi sebuah kerugian? Saya rasa tidak. Saya juga tidak sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Muna Abu saat ia mengkritisi sistem yang telah dan sedang berjalan untuk beberapa alasan. Salah satunya, ungkapan T. S. Elliot yang dikutip oleh Ronan McDonald dalam bukunya Mawt al-Nâqid, “Tidak ada metodologi apa pun bagi seorang pembelajar kecuali tajamnya pemikiran”.

*Pernah diterbitkan di kintaka.co

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *