Bincang Emansipasi Perempuan Indonesia di Timur Tengah-Afrika bersama Prof. Amany Lubis

Bincang Emansipasi Perempuan Indonesia  di Timur Tengah-Afrika bersama Prof. Amany Lubis

Sabtu, 18 April 2020 AKTA (Aliansi Keputrian Timur Tengah Afrika) sukses adakan Webinar dalam rangka menyambut Hari Kartini di Channel Youtube AKTA bersama Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. AKTA sebagai organisasi khusus perempuan tentunya sangat antusias menyambut momentum ini. Momentum Hari Kartini yang bertajuk, “Relevansi Gerakan Emansipasi dengan Perempuan Timur Tengah-Afrika” ini, berangkat dari kesadaran para pengurus AKTA yang merasa bahwa alumni Timur Tengah-Afrika masih belum berperan aktif di Indonesia. Ihwal ini tentu tak sebanding dengan meningkatnya jumlah mahasiswi yang terus bertambah melanjutkan studi di Timur Tengah-Afrika.

Prof. Amany yang menjadi perwajahan dari eksistensi perempuan alumni Timur Tengah di Indonesia dirasa adalah sosok yang pas dengan segudang karya dan pencapaiannya, salah satunya—saat ini beliau sedang menjabat—sebagai Rektor di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta periode 2019-2023. Beliau adalah perempuan pertama yang menjadi rektor di Universitas Islam yang ada di Indonesia dan perempuan pertama dari Asia Tenggara yang berpidato dihadapan Raja Maroko pada 17 Juni 2017 lalu.

Beliau lahir pada 22 Desember 1963 dan besar di Kairo, Mesir. Konon, perempuan-perempuan Mesirlah yang menjadi inspirasinya dalam menuntut ilmu. Semisal, Bintu Syathi yang menjadi mufasir perempuan pertama di Mesir. “Pemerintah Mesir sangat peduli sekali dengan pendidikan yaitu dengan cara menggratiskan biaya pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Sarjana, ini sangat membantu masyarakatnya untuk mendapat pendidikan khususnya perempuan. Sehingga tak heran jika dominan perempuan Mesir adalah orang terdidik dan terpelajar. Dampaknya, perkawinan di Mesir menjadi agak lambat. Sebab, para perempuan Mesir bergelut aktif dalam bidang keilmuan dan masyarakat. Namun ini bukanlah hal yang buruk bagi masyarkat Mesir, karena mereka memang lebih mengutamakan keilmuan dan pendidikan.” Ungkap beliau disela menceritakan biografinya.

Hubungan Cendekiawan Indonesia dengan Al-Azhar

“Menyoal emansipasi dan pendidikan untuk perempuan, saya ingin berbicara sejarah pendidikan di Al-Azhar. Pada tahun 1960 Al-Azhar memberikan ruang belajar untuk kaum perempuan. Sejarah Al-Azhar ini juga berkaitan dengan sejarah pendidikan perempuan di Indonesia. Untuk pertama kalinya Al Azhar memberikan gelar Syaikhoh kepada perempuan. Uniknya, perempuan tersebut adalah perempuan Indonesia yang diundang ke Mesir untuk diberi gelar tersebut. Beliau adalah Syaikhoh Rahmah Al-Yunusiyyah yang dipilih langsung oleh rektor Azhar putri saat itu; Dr. Aisyah Abdurrahman (Bintu Syathi) karena telah mendirikan Pesantren Diniyyah Putri di Padang Panjang. Tentunya, hal ini juga menjadi sejarah pertama kalinya bagi perempuan Indonesia mendapat gelar kemuliaan tersebut,” tutur beliau memulai pembahasan.

Emansipasi dalam Islam

Setelah menyampaikan hubungan sejarah pendidikan perempuan Indonesia dengan pendidikan di Timur Tengah, beliau pun masuk pada pembahasan Emansipasi yang menjadi tema inti pada dialog tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa gerakan emansipasi adalah upaya untuk menyamakan hak-hak perempuan dengan laki-laki yang selama ini terjadi kesenjangan. Menurut Ibu Amany, gerakan ini sangat bisa diimplementasikan dalam dunia Islam—tidak hanya di negara-negara barat saja—berdasarkan ketentuan dan syarat masing-masing.

“Cara termudah menonjolkan emansipasi perempuan dalam dunia Islam adalah dengan memunculkan nama-nama tokoh muslimah seperti yang telah dilakukan Al-Azhar dalam kumpulan buku-bukunya. Semisal, Ibu Khalifah Harun Ar-Rasyid yaitu Khaizuran binti Atho’ yang membuatkan saluran air bersih untuk para jamaah haji di Mekkah dan Muzdalifah yang masih ada sampai sekarang meskipun sudah 12 abad, atau Fatima Al-Fihr pendiri Universitas Al-Qawariyyin di Maroko yang mewarisi banyak harta dari Ayah dan suaminya. Kedua sosok tersebut adalah contoh bagi kita semua, bahwa perempuan Islam mampu berperan untuk dunia meskipun terkadang ia terlihat lemah dan dibalut dengan hijab, namun sejatinya dunia ini sangatlah membutuhkan kontribusinya.” Ungkap beliau dengan penuh percaya diri, memberi kabar baik tentang kehebatan perempuan Timur Tengah terdahulu.

“Allah sendiri tidak pernah membedakan laki-laki dan perempuan dalam melakukan kegiatan positif (amal saleh). Seperti firmannya dalam QS. An-Nahl ayat 97, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Ayat tersebut adalah janji Allah kepada hambaNya yang telah berbuat baik—menghasilkan kegiatan positif—baik laki-laki maupun perempuan dengan ganjaran berkali lipat,” imbuhnya mengutip nas dalam al-Qur’an.

Gerakan Emansipasi dan Kerja Sama dengan Kaum Lelaki

Berangkat dari salah satu penanya di Webinar tersebut, menyoal kendala yang dialaminya setelah mencoba praktek langsung melebur dalam sebuah forum formal laki-laki dan perempuan. Tentunya, adalah sebuah proses pembelajaran luar biasa bagi perempuan Indonesia yang bersekolah di Timur Tengah dengan latarbelakang alumni pesantren, dimana berbaur dengan kaum laki-laki adalah hal yang sangat tabu. Pertanyaan tersebut pun diajukan kepada Prof. Amany yang dirasa sangat berpengalaman dalam keadaan tersebut.

“Dalam pendidikan keluarga khususnya anak perempuan tentunya memiliki didikan yang berbeda dengan anak laki-laki. Dimana perempuan lebih terjaga dan terikat dalam banyak peraturan. Namun, hal tersebut bukan sebuah alasan untuk menjadikan kita merasa rendah ataupun malu di hadapan laki-laki, sebab kita sedang berkiprah dalam hal positif. Jangan minder, berbicaralah sesuai konteks, jelas dan singkat supaya ide-ide yang kita sampaikan bisa diterima. Tentunya hal ini membutuhkan latihan dan pengendalian diri yang baik.” jawab Bu Amany meyakinkan.

“Adapun tentang bekerja sama dengan kaum laki-laki yang berbeda secara emosional dan kultural, prinsipnya adalah saling menghormati dan saling memahami satu sama lain. Sabar dalam memahami perbedaan karakter dan juga memiliki kecerdasan spontan dalam menyikapi sifat lawan bicara, khususnya lawan jenis. Jika kita mampu memahami dan menghormati dengan baik, mereka pun akan melakukan hal yang sama. Sebab, kerja sama laki-laki dan perempuan dalam sebuah forum formal, bukan lagi tentang konteks perbedaan jenis melainkan telah melebur menjadi satu dalam wadah yang sama yaitu sebagai manusia. Dimana kita adalah manusia yang sama-sama sedang berkiprah untuk kehidupan manusia yang lebih baik,” tambahnya sembari tersenyum lepas, tanda sebuah dukungan untuk melanjutkan perjuangan.

Webinar yang dimoderatori langsung oleh Koordinator AKTA; Nurul Fadhilah ini berjalan dengan lancar, meskipun terdapat sedikit kesalahan teknis saat permulaan video. Tampak beberapa peserta yang antusias menyimak dan mengajukan pertanyaannya selama Webinar berlangsung. Peserta tidak hanya dari mahasiswa Timur Tengah-Afrika saja melainkan mahasiswa UIN Syarif Jakarta juga turut menyaksikan Prof. Amany yang menjadi sosok teladan dan inspirasi bagi kebanyakan mahasiswa Indonesia.

Penulis: Zulia Misbach

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *