Ambiguitas Peran Alumni Timtengka

Ambiguitas Peran Alumni Timtengka

Oleh: Tanzila Nur Aini (PPMI Mesir)

Keresahan yang jamak dirasakan oleh mahasiswa tidak lain berkutat pada pertanyaan, aku nanti mau jadi apa? Tak terkecuali, mahasiswa ataupun lulusan luar negeri pun merasakan kegelisahan serupa. Mereka belum menemukan titik terang terkait profesi apa yang nanti akan digeluti. Tentu saja, kegelisahan semacam ini tidak mudah untuk diselesaikan. Sebab ada faktor- faktor eksternal yang membuat seorang mahasiswa sulit untuk memutuskan.

Benar bahwa mahasiswa menjadi tonggak utama akan kemakmuran sebuah bangsa. Masyarakat berbondong-bondong menitipkan asa dan harapan bangsa untuk kalangan mahasiswa. Terlebih mahasiswa luar negeri, masyarakat Indonesia cenderung berekspektasi lebih tinggi akan keberhasilan mereka dalam membangun peradaban nantinya. Sayangnya, ekspektasi yang masyarakat bentuk tersebut tidak melulu sesuai dan tepat sasaran. Mereka hanya terpaku pada label eksternal yang melekat pada seorang mahasiswa tanpa mengidentifikasi lebih dalam. Seperti yang saya temukan di lingkup tempat tinggal saya dan teman-teman terdekat.

Label mahasiswa studi Islam di Timtengka diekspektasikan masyarakat untuk menjadi pemuka agama ataupun kiai yang akan mendidik mereka secara langsung terkait persoalan agama. Ekspektasi atau harapan (yang menurut saya kurang tepat) tersebut kian menjamur di tengah masyarakat kita, yang lama-kelamaan justru memunculkan stigma keharusan alumni studi Islam Timtengka untuk menjadi seorang pemuka agama.

Mau tidak mau, stigma ini akhirnya mempengaruhi pola pikir mahasiswa Timtengka. Mereka seolah ikut mengamini stigma tersebut, sehingga meyakini pula bahwa ruang gerak mereka di masyarakat cukup sempit. Mengingat tidak semua mahasiswa Timtengka memiliki kecakapan berbicara yang bagus (sebagai salah satu syarat kredibilitas seorang pemuka agama), maka peluang gerak mereka menjadi semakin terbatas lagi. Saya tidak bermaksud meremehkan peran pemuka agama di tengah masyarakat. Hanya saja, secara tidak langsung stigma masyarakat tersebut telah mengerdilkan peranan alumni TimTingKa di Indonesia. Inilah salah satu faktor eksternal yang membuat seorang mahasiswa susah menemukan solusi dari kegelisahan yang saya sebut di atas.

Lalu, bagaimana peranan ideal sosok alumni studi Islam Timtengka di tengah masyarakat Indonesia? Tentu bukan hal mudah untuk bisa menjawab pertanyaan ini. Setidaknya kita berupaya menemukan jawaban tersebut dengan menganalisis kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia saat ini sebagai objek alumni Timtengka dalam ruang geraknya nanti, serta mengidentifikasi ihwal mahasiswa studi Islam Timtengka sebagai subjek dalam hal ini.

Konon, saat ini kita hidup di era Post-truth (Pasca Kebenaran), dimana kebenaran tidak dilihat dari nilai kebenaran itu sendiri. Melainkan dilihat dari seberapa banyak massa yang mengatakan hal itu benar. Ditambah lagi kini kita masuk di era revolusi industri 4.0, globalisasi dan teknologi kian merambah ke setiap sendi dan aspek kehidupan manusia. Arus informasi yang begitu lepas dan mudah diakses semakin menggeser makna kebenaran. Setiap orang dapat dengan mudah menanggapi akan suatu kejadian, tidak peduli tua-muda ataupun kaya-miskin. Mirisnya, hal ini justru membuat orang dengan pegetahuan minim bebas berkeliaran mengomentari hal-hal yang bukan kapasitasnya. Anehnya lagi, komentar ngawur mereka bisa menjadi benar ketika diamini oleh banyak orang. Sampai memarginalkan pendapat dari seorang pakar sekalipun.

Fenomena tersebut beberapa kali kita temukan. Terutama menyoal isu-isu keberagamaan yang sangat rentan menjadi sasaran. Oleh karena itu, kehadiran mahasiswa studi Islam Timtengka sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. Mereka sebagai sosok yang memiliki kapabilitas di bidang keagamaan memiliki peran yang sangat vital dalam keberlangsungan dialektika beragama di Indonesia. Baik di dunia maya maupun dunia nyata. Mulai dari masyarakat akar rumput hingga kaum elit.

Kemudian menyoal ihwal mahasiswa studi Islam di Timtengka. Yang sering tidak dipahami masyarakat Indonesia adalah, fakta bahwa selama kuliah di Timtengka mereka juga melewati berbagai dinamika keilmuan, sebagaimana dunia perkuliahan di Indonesia. Di luar bangku kuliah, banyak sekali aktivitas-aktivitas ilmiah maupun non-ilmiah yang mengasah keterampilan dan kinerja mahasiswa. Seperti komunitas jurnalistik yang mengasah kemampuan menulis serta kepekaan mahasiswa terhadap realita yang ada, ruang organisasi mahasiswa yang menjadi titik awal mereka untuk belajar mangatur dan memanfaatkan sumber daya. Serta forum-forum diskusi ilmiah yang menuntut mahasiswa untuk bisa mengelaborasi teks-teks agama dengan fenomena yang ada, supaya menemukan ide segar dan tawaran baru guna kemajuan peradaban. Setidaknya itu yang saya temukan di Mesir.

Begitu pun di bangku perkuliahan, mereka tidak hanya dijejali maklumat dan teori-teori begitu saja. Akan tetapi juga diuraikan bagaimana bentuk-bentuk problematika masyarakat terkait bab yang dikaji serta bagaimana cara mengaktualisasi teori-teori tersebut untuk mendapatkan sosuli dari problematika tersebut. Di antaranya, mahasiswa jurusan teologi belajar tentang konsep silogisme, metode deduktif serta bagaimana penerapannya pada sebuah fenomena. Adapun mahasiswa jurusan hukum Islam mengkaji tentang dasar-dasar pengambilan hukum, metode analogi serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (mencakup segala aspek). Dan masih banyak ihwal mahasiswa studi Islam di Timtengka yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.

Fakta bahwa objek kajian mahasiswa Timtengka begitu luas dan kompleks, seyogianya mampu menyadarkan masyarakat Indonesia bahwa ruang gerak mereka sangatlah luas, tidak terbatas menjadi seorang pemuka agama. Pun fakta tersebut seyogianya dapat menumbuhkan rasa percaya ciri mahasiswa Timtengka untuk dapat berkiprah di berbagai lini kehidupan.

Mengingat keadaan Indonesia yang demikian, serta keberagaman kultur masyarakat Indonesia yang menuntut alumni mereka untuk dapat terjun di berbagai lini kehidupan, idealnya mahasiswa studi Islam Timtengka memiliki salah satu dari dua orientasi berikut. Pertama, beorientasi menjadi profesional di studi keislaman. Maka kurang lebih ruang gerak mereka menjadi sosok akademisi yang mengisi bangku-bangku perkuliahan dan seminar-seminar ilmiah, ataupun sosok pemuka agama yang terjun langsung ke masyarakat. Pun mereka bisa menjadi sosok misionaris di suatu bidang keislaman dengan dibarengi keterampilan tertentu, seperti menjadi penulis, motivator ataupun menggagas sebuah lembaga bimbingan tertentu. Kedua, mahasiswa yang mempelajari agama bukan sebagai profesi. Melainkan sebagai pondasi dan prinsip untuk melanjutkan profesi yang lebih luas, seperti pengusaha, politikus, aktivis dan lain-lain.

Setidaknya, era revolusi industri 4.0 ini menawarkan berbagai kemudahan berkomunikasi, serta mendapatkan informasi dan fasilitas. Kemudahan ini seyogianya dapat memicu semangat mahasiswa studi Islam Timtengka untuk dapat berinovasi menghadirkan tawaran yang spektakuler demi kelangsungan dialektika beragama di Indonesia. Tidak asing bagi kita, banyak laman website atau bahkan aplikasi khusus yang memudahkan masyarakat untuk dapat konsultasi langsung dengan para pakar di bidangnya. Seperti ahli gizi, psikolog, doktor kulit, dan lain-lain. Saya sangat menantikan tren dimana media massa dipenuhi platform mahasiswa ataupun alumni Timtengka, mulai dari pakar teolog, pakar ushul fikih, pakar tafsir, pakar hadits, dan lain-lain, yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat Indonesia. Semoga.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *