Spirit Fatimah Dalam Hari Perempuan Iran

Spirit Fatimah Dalam Hari Perempuan Iran

Penulis: Haryati (Koordinator AKTA 20/21), Mahasiswi Jamiah Az Zahra Qom, Iran

“Jika memang perempuan harus memiliki hari, maka adakah hari yang lebih mulia dan lebih membanggakan selain hari kelahiran Fathimah Azzahra, sosok kebanggan rumah kenabian dan terbit laksana matahari di atas wajah islam yang mulia?”

(Imam Khomeini)

Tiap-tiap diri memiliki kenangan. Ia adalah catatan tentang momen penting dan patut dikenang sepanjang masa. Momen itu kerap dieskpresikan dalam bentuk pesta tahunan.

Hari kelahiran adalah contoh paling melegenda dalam tradisi yang membawa semua diri larut dalam kegembiraan. Bahkan kadang ia sengaja dicipta menjadi suasana yang mengharu biru.

Keluarga juga demikian. Tiap keluarga dapat mengekspresikan hari-hari istimewanya. Ada keluarga yang membuat peringatan terlepasnya mereka dari ancaman bencana, dan sebagainya. Hari pernikahan biasanya menjadi event tahunan dalam lingkup keluarga.

Bangsa adalah diri. Ia lahir, dibesarkan, dan menjalani sejarahnya. Menurut Muthahhari (1988) tiap bangsa memiliki jiwa sebagai layaknya pribadi manusia. Wajarlah jika tiap bangsa mengenal hari-hari yang diagungkan semenjak dahulu. Lalu ia diperingati setiap tahun.

Bangsa Yunani bahkan mewariskan festival.  Festival digelar sebagai bagian dari pengagungan dewa-dewi. Melalui kegiatan tahunan itulah penguasa Yunani mewariskan nilai luhur bangsanya secara turun-temurun.

Apa manfaat perayaan tahunan itu? Baik sebagai momen privat maupun publik event tahunan selalu mengalirkan inspirasi. Ia dapat memperbaharui semangat, tekad, bahkan ikrar terhadap orientasi diri, maupun masyarakat, bangsa, dan negara.

Semua negara memiliki catatan sejarah dalam ritme perjalanan kebangsaannya. Agar generasi demi generasi mengetahui spirit yang terukir dalam lembar-lembar sejarah kebangsaannya maka perlulah perayaan atau peringatan itu.

International Women’s Day atau Hari Perempuan International, misalnya. Ia dirayakan tiap tanggal 8 Maret. Ini untuk mengingat perjuangan demonstrasi kaum perempuan yang memicu terjadinya Revolusi Rusia.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan Hari Perempuan International sebagai cara mengenang peristiwa itu. Namun sesungguhnya yang lebih penting daripada itu adalah untuk mengubah persepsi khalayak tentang sejarah yang didominasi laki-laki.

Ada yang menduga bahwa history itu adalah dua penggalan kata “his” dan “story”. Yang artinya adalah “cerita-nya” . Dengan his sebagai kata ganti laki-laki menunjukkan bahwa history merupakan konsep mengenai kisah dunia dan manusia yang direkonstruksi dan ditulis sesuai spirit laki-laki. Padahal sejarah harusnya adalah cerita masa lalu yang sesuai dengan fakta dan realita.

Bangsa Indonesia juga memiliki tonggak sejarah yang diperingati tiap tahun. Selain hari kemerdekaannya tiap 17 Agustus, dikenal juga Hari Kartini tiap 21 April sebagai emansipasi kaum perempuan Indonesia. Begitu pula Hari Ibu 22 Desember untuk mengenang Kongres Perempuan pertama Indonesia.

Momentum 22 Desember hadir agar generasi demi generasi tahu tentang kongres perempuan pertama Indonesia yang dihadiri 600 perempuan dari berbagai ras, suku dan agama. Agenda yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut adalah persatuan perempuan, pernikahan usia dini, perbaikan gizi serta kesehatan ibu dan anak, poligami dan hak-hak perkawinan. Juga membahas perdagangan perempuan dan anak serta keterlibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa.

Jadi hari ibu bukan sebuah seremonial belaka yang diisi oleh lomba memasak, indentik kebaya konde atau ucapan kasih sayang kepada ibu kandung. Berada di baliknya gema teriakan perlawanan atas budaya patriarki yang menindas kaum perempuan. Melalui kepalan tangan menentang kapitalisme yang menyiksa dan menempatkan kaum perempuan sebagai buruh murah.  Kaum ibu dan para perempuan turut andil dalam kemajuan dan kemandirian bangsa indonesia.

Bangsa Iran tak terkecuali. Iran juga memiliki hari khusus memperingati perjuangan kaum perempuan. Salah satu pencetus revolusi Islam Iran adalah kaum perempuannya. Perempuan adalah bagian kelompok yang ikut menggulingkan rezim Syah, pemerintahan despotik, diktator dan otoriter.

Perempuan Iran Pra-revolusi

Pemimpin tertinggi Revolusi Iran, Imam Khomeini mengatakan bahwa perempuan mengalami ketertindasan di dua masa, yaitu masa jahiliyah dan masa kepemimpinan Reza Khan dan putranya Syah Pahlevi. Kondisi perempuan tidak jauh beda dengan zaman kabilah Arab yang menganggap perempuan sebatas materi saja. Hanya tubuh, kecantikan dan kemolekanya yang dinilai.

Barat yang menjadi tolok ukur kemajuan dan peradaban manusia pun ditiru dengan menggaungkan kebebasan dan emansipasi muda-mudi. Namun yang digaungkan adalah kebebasan yang kebablasan.

Perempuan yang memilih untuk mengenakan jilbab dan cadur (kain hitam yang panjang menjulur ke bawah menutup seluruh tubuh perempuan) justru mendapat diskriminasi, intimidasi dan perlakuan yang tidak pantas. Seperti penarikan jilbab dan cadur, kaum santri dan agamawan mendapatkan larangan untuk mengenakan baju rohaniawannya. Peringatan-peringatan agama dibatasi  bahkan sampai dibubarkan. Apa ini dikatakan kebebasan?

Kebebasan versi Syah Pahlevi adalah mengenakan busana ala barat, rok mini, sleeveless (baju atasan dengan model tanpa lengan) untuk perempuan. Sedangkan kaum laki-laki diwajibkan topi, dasi dan jas. Budaya barat juga dipaksakan untuk dilakukan rakyat Iran seperti, menggunakan bikini dan bercampur dengan lawan jenis di pantai. Begitu pula pergaulan bebas muda mudi. Bioskop dan diskotik menjadi sumber hiburan muda-mudi.

Upaya westernisasi ini bertentangan dengan tradisi mayoritas masyarakat Iran. Ia memicu protes kalangan agamawan, perempuan mutadayyin, hingga kaum intelektual yang menimbulkan lautan demonstrasi dimana-mana.

Fathimah Azzahra

Role model mayoritas warga Iran adalah Ahlul Bait Nabi saw. Salah satunya adalah Sayyidah Fathimah Azzahra sa. Beliau adalah putri Nabi Muhammad saw dari istrinya Sayyidah Khadijah Al qubra. Beliau lahir pada tanggal 20 Jumadil Tsani tahun ke-5 Bit’sah (hari diutusnya Nabi Muhammad saw). Fathimah biasa disapa Azzahra artinya cahaya.

Kelahiran Azzahra merupakan cahaya di tengah kegelapan zaman jahiliyah. Ini juga menandai kesamaan posisi perempuan dan laki-laki dalam hak hidupnya.

Kenapa tidak, zaman jahiliyah adalah zaman memprihatinkan bagi perempuan. Hidup mati anak perempuan ditentukan oleh tangan laki-laki. Kelahirannya tidak diharap dan dianggap sebuah aib bagi keluarga. Dalam perkawinan pun perempuan tidak ada hak suara menentukan pilihan, mereka juga bebas diceraikan kapan saja, tidak memiliki hak waris dan dilabeli sebagai makhluk The Second Sex (perempuan kelas kedua).

Putri Agung Nabi, Sayyidah Fathimah Azzahra bukan awal kelahirannya saja memberikan cahaya keberkahan kepada ummat manusia. Sepanjang kehidupannya hingga akhir zaman akan selalu menjadi masa depan yang cerah dan teladan bagi kaum perempuan. Aisyah ra bersabda, Fathimah sebaik-baik perempuan di dua alam. Rasul Allah juga memperkenalkan Fathimah sebagai teladan yang sempurna.

Sejak masik kecil, beliau telah menjadi ibu bagi ayahnya. sehingga mendapatkan gelar Ummu Abiha. Disaat ibunya, Sayyidah Khadijah telah wafat, beliau selalu hadir menjaga dan merawat Nabi. Beliau dididik dan diajar langsung oleh Nabi, dibesarkan dengan penuh perhatian yang sangat tinggi.

Ketika telah beranjak dewasa, beliau telah memiliki sifat agung, rasa kemanusiaan yang sempurna, tanggung jawab, harga diri, kesucian, kepedulian sosial, kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas.

Fathimah dikenal sebagai perempuan aktif dan kreatif. Selain tumbuh besar di madrasah kenabian dengan mendapatkan ilmu dari ayahnya, juga senantiasa belajar kecakapan yang populer di kalangan perempuan di semenanjung Arab kala itu. Tak heran pada saat perang Uhud dan Fathu Makkah, dialah yang merawat luka-luka nabi dan suaminya, Ali bin Abi Thalib.

Kepribadian perempuan agung, Sayidah Fathimah Azzahra sa, menginspirasi ketika mereka berjihad. Mereka paham bahwa politik adalah bagian agama. Sebagaimana dalam catatan sejarah Islam bahwa Fathimah Azzahra sa sepeninggal Rasulullah saw. harus memperjuangkan haknya atas tanah Fadak, membela hak Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin di zamannya dan seterusnya.

Hari perempuan di Iran

Revolusi Islam Iran meletus pada 22 Bahman 1357 HS bertepatan dengan 11 Februari 1979. Meletusnya revolusi kemerdekaan ini tidak lepas dari keikutsertaan kaum perempuan sebagai garda terdepan dalam revolusi. Tanpa keberanian mereka dalam barisan revolusi, laki-laki tidak akan bebas ikut dalam jajaran revolusi. Seperti yang dilansir oleh Ir. Soekarno dalam bukunya Sarinah, revolusi tidak akan pernah terjadi jika tidak ada perempuan-perempuan revolusioner.

Hebatnya perempuan Iran, mereka mendorong ayah, suami, dan anak laki-lakinya turut berjuang di medan perang. Demikian juga mereka menyerahkan seluruh harta bendanya untuk biaya perang, dan ikhlas melepaskan keluarganya yang syahid.

Dalam sebuah cerita yang masyhur, ada seorang gadis berani menikah dengan seorang pendukung revolusi yang kondisi tubuh sudah cacat, mata buta akibat perang. Saat gadis tersebut diminta alasan menikah dengannya, sang gadis berkata: walau diriku tidak turut dalam medan perang, tapi inilah langkah bagiku untuk ikut berjuang.

Jasa-jasa perempuan sebagai pionir revolusi mendorong Imam Khomeini selaku Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran menetapkan perlunya Hari Perempuan Nasional sebagai bentuk penghargaan. Dalam penetapan ini, dipilih hari lahir Putri Agung Nabi, Sayyidah Fathimah Azzahra sa, 20 Jumadil Tsani. Keberanian kaum perempuan Iran diinspirasi oleh keteladanan Sayyidah Zahra sebagai sosok perempuan sempurna dan manusia yang memiliki derajat kemanusiaan seutuhnya. Keputusan Imam Khomeini menggambarkan secara jelas spirit Fatimah dalam Hari Perempuan Nasional Iran.

Editor: Zulfah Nur Alimah, Lc

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *