Rehabilitas Penyakit Mental dalam Tinjauan Filsuf Barat dan Islam

penyakit mental
sumber gambar: bisnis.com

Studi Kasus

Penyakit mental merupakan salah satu isu yang senantiasa dikaji dan ditelaah dalam wacana psikologi, baik barat dan Islam yang dilatarbelakangi oleh peningkatan kasus bunuh diri yang mengindikasikan hadirnya keresahan, depresi, dan hilangnya kebermaknaan dalam memaknai hidup di realitas. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) mencatat sedikitnya 200 juta (3,6 %) manusia mengalami depresi dan kehilangan nilai hidup di tahun 2017. Menurut catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, kasus gangguan emosional mengalami peningkatan dalam rentan waktu 5 tahun, 2013-2018. Pada tahun 2013, kasus gangguan emosional berada di angka 6 %. Namun mengalami peningkatan di tahun 2018 sebesar 9,8 % dengan rata-rata usia 15 tahun ke atas. Tingginya kasus depresi dan gangguan emosional mengakibatkan berkembang kasus bunuh diri di realitas. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat jumlah bunuh diri yang terjadi setiap tahunnya, sebanyak 800.000 kematian atau 1 kematian setiap 3 menit.

Baca juga Konsep Perlawanan dalam Kehidupan Manusia Modern

Rehabilitas Mental Menurut Pemikir Barat

Demi mengatasi peningkatan kasus bunuh diri, para psikolog berusaha mengkaji isu penyakit mental yang dipandang sebagai inti dari berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat modern. Erick Fromm, psikolog Jerman memandang tingginya kasus depresi, gangguan mental, dan bunuh diri didasari oleh hilangnya ketenangan dan harapan dalam menjalani kehidupan di realitas. Alasan utama hilangnya ketenangan dan harapan dalam hidup manusia didasari oleh persepsi individu yang melihat dunia sebatas ruang kompetisi untuk memenuhi kebutuhan materialisme mereka. Erick Fromm berangkat dari konsep materialisme Ludwig Feuerbach yang menjelaskan peradaban manusia sejak awal hingga abad modern senantiasa dipenuhi oleh cara manusia memenuhi kebutuhan materialisme, baik secara tesis, anti-tesis, dan sintesis. Akibatnya, manusia tidak dapat menikmati perjalanan hidup dengan menilai kehidupan sebatas hitam dan putih.

Pandangan Erick Fromm dipertegas oleh Bruce S. Mc.Ewen dalam salah satu penelitiannya yang berjudul “Stress, Adaptation and Disease: Allostatic Load” menyebutkan faktor utama terjadinya bunuh diri didasari oleh penyakit mental yang dihadapi oleh manusia. Manusia senantiasa dihadapkan berbagai permasalahan di luar batas kemampuan berpikir dan kehendaknya dalam konteks masyarakat yang mengimplikasikan terciptanya stres. Stres mengindikasikan depresi, sedih, hilangnya konsentrasi, hingga berujung pada tidak adanya persepsi memaknai arah hidup. Lebih lanjut, Bruce S. Mc.Ewen beranggapan bahwa individu yang telah mengalami stres cenderung mudah tersinggung, marah, dan merasa bersalah atas berbagai peristiwa yang mendeskripsikan hilangnya rasa percaya diri serta menutup diri dari keramaian sosial. Dari berbagai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa para psikologi barat, baik psikoanalisis maupun kognitif mengkaji problematika penyakit mental melalui pendekatan empirisme. Akibatnya, penyakit mental ditinjau secara pengalaman empiris subjek atau individu tanpa melihat secara radikal eksistensi manusia. Implikasinya, ragam penawaran dan pembahasan masalah penyakit mental dipandang belum komprehensif dan holistik.

Rehabilitas Mental Menurut Filsuf Muslim

“..jiwa merupakan substansi keberadaan yang bersifat immateri mempengaruhi pengetahuan dan kondisi psikis individu terhadap tubuh manusia, sehingga semakin jiwa tertekan, semakin kesehatan tubuh manusia terganggu di realitas.”

Ibn Miskawaih

Ibn Miskawaih dalam kitab Tahdzīb al-Akhlāq menjelaskan jiwa dan tubuh merupakan dua keberadaan yang terpisah, namun bersatu dalam diri manusia. Keterpisahan jiwa dan tubuh dapat dipahami secara eksistensi, yaitu immateri dan materi. Menurut Ibn Miskwaih, jiwa merupakan substansi keberadaan yang bersifat immateri mempengaruhi pengetahuan dan kondisi psikis individu terhadap tubuh manusia, sehingga semakin jiwa tertekan, semakin kesehatan tubuh manusia terganggu di realitas. Lebih lanjut, Ibn Miskawaih juga menjelaskan bahwa jiwa manusia terdiri dari 3 daya utama, yaitu al-quwwah an-natiqah, al-quwwah al-ghadābiyyah, dan al-quwwah al-syahwatiyah. 

Pertama, al-quwwah an-natiqah (daya berpikir) merupakan daya tertinggi dalam struktur jiwa yang berperan untuk menganalisis ragam perilaku dan kehendak manusia dengan menentukan nilai baik dan buruk secara bijak, sehingga individu dapat menghindari suatu tindakan yang dipandang sia-sia atau tidak bernilai bagi dirinya. Implikasinya, jiwa tidak merasakan kekecawaan, kesedihan, dan murung yang menyebabkan kesehatan tubuh terjaga secara stabil di realitas. Kedua, al-quwwah al-ghadābiyyah (daya keberanian), berperan untuk merefleksikan keberanian bagi individu untuk mengambil suatu tindakan tanpa keraguan atau percaya diri. Namun, Ibn Miskawaih menyebutkan bahwa daya keberanian harus dilandasi oleh daya berpikir yang berarti setiap tindakan harus dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui ragam keuntungan dan kelemahan dalam tindakan tersebut. Ketiga, al-quwwah al-syahwatiyah (daya hasrat), merupakan daya terlemah dimiliki oleh jiwa manusia yang senantiasa mendorong manusia untuk memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan duniawi.

Ketiga daya jiwa di atas, merupakan sebab utama penyakit mental manusia. Jika manusia menempatkan al-quwwah al-ghadābiyyah sebagai persepsi objek, maka seluruh objek dijustifikasi berdasarkan kekuatan khayal manusia. Akibatnya, individu akan berpikir negatif dalam bertindak dan berperilaku di realitas. Ibn Miskawaih menawarkan dua pendekatan, antara lain; pertama kemungkinan berpikir. Kemungkinan berpikir, ialah meluruskan cara pandangan individu untuk mengatasi suatu objek. Kemungkinan berarti ketidakpastian suatu perkara akan menimpa individu yang didasari oleh suatu sebab, seperti jika seseorang yang berdiri di atas ketinggian, maka dia berpikir akan terjatuh dan tewas. Kemungkinan berdiri di atas ketinggian dan terjatuh, merupakan dua relasi yang berjauhan, sehingga tidak akan terjadi. Ketidakterjadian suatu kemungkinan dalam pikiran manusia menghindari individu dari rasa takut terhadap suatu masalah yang dihadapi. Kedua, mengutamakan berpikir kritis daripada perasaan yang meledak-ledak. Penawaran kedua dalam pandangan Ibn Miskawaih berusaha mengarahkan manusia untuk berpikir positif daripada takut untuk mengambil suatu tindakan yang didasari oleh kekhawatiran terhadap suatu peristiwa di masa mendatang.

Penulis: Nurul Khair (Wakil Koordinator Pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia Kawasan Timur Tengah dan Afrika)

Referensi:

Gama, Cipta, Bakti. Fondasi Psikopatologi 1slam: Inti dan Ragam Dimensi Gangguan Jiwa dalam Tinjauan Filsafat dan Al-Qur’an. Malang: Pustaka Sophia, 2019.

McEwen, Bruce S. “Stress, Adaptation And Disease: Allostasis And Allostatic Load”. Thwghe New York Academy of Sciences Journal 840, Issue 1, Mei 2006: 33-34. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/9629234/ 

Miskawaih, Ibn. Tahdzīb al-Akhlāq. Beirut: Dar al-Qutub al-Ilmiyah, 1985.

——————-. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Diterjemahkan oleh Hilmi Hidayat. Bandung: Mizan 1999.

Najati, Muhammad, Utsman. Jiwa dalam Pandangnan Para Filsuf. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *