Oleh: Khobirotun Nisa (PPI Maroko)
Beberapa hari yang lalu, FPCI, PPI Dunia, dan lainnya mengeluarkan petisi #DaruratIklim untuk kita tanda tangani. Pun Chevening Indonesia telah meluncurkan sebuah kampanye ajakan menjaga iklim dengan #JanjiCegahKrisisIklim. Sayangnya, kampanye ini belum sempat trending apalagi mengalahkan berita skandal di Indonesia. Apakah isu ini tidak lebih menarik? Ataukah hanya saja masih banyak dari kita yang belum menyadarinya? Jika benar begitu, maka saya rasa ini adalah kesempatan yang cukup bagus untuk kita bisa memulai memahaminya bersama.
Sekilas mengenai perubahan iklim seperti dilansir dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) tertulis bahwa perubahan iklim terjadi dengan ditandai oleh meningkatnya pemanasan di bumi, iya, temperatur permukaan global akan terasa lebih hangat dan itu sudah terjadi semenjak 1850. Di mana tingkat pemanasan rata-rata selama lima puluh tahun terakhir meningkat dua kali lipat dari rata-rata seratus tahun terakhir. Bumi kita benar mengalami tingkat pemanasan yang sangat signifikan, dan itu dapat lebih dirasakan pada daerah daratan dibanding lautan.
Jumlah karbondioksida di atmosfer pun terdapat lebih banyak, sedangkan karbondioksida saat ini merupakan penyebab paling dominan terhadap adanya perubahan iklim. Lebih menyedihkan lagi, konsentrasinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bagaimana tidak? Hutan-hutan kita digunduli seenak hati tanpa tanggung jawab tiap harinya. Apalagi era industri kini yang sumbangsih memberi gas karbondioksida tanpa henti.
Beralih kepada banyaknya air di bumi, namun penyebarannya tidak begitu merata, sehingga banyak bagian dari bumi kita mengalami kekeringan yang lebih lama dan kuat. Lagi, permukaan laut yang semakin naik di mana jika fenomena ini dibiarkan terus berlanjut, maka itu akan mengancam ekosistem perikanan yang ada. Dan Indonesia sebagai negara dengan begitu banyak pulau kecilnya tentu akan menerima dampak dari meningkatnya permukaan laut. Pulau kecil dan pesisir yang juga merupakan pemukiman warga pun rentan terendam.
Mengapa bisa terjadi demikian? Setidaknya itu disebabkan oleh gletser yang mencair. Pegunungan gletser dan tutupan salju yang terus berkurang pada kedua belahan bumi. Ia tidak lain adalah yang memiliki kontribusi terhadap kenaikan muka laut. Mengapa bisa sampai mencair? Yep, karena bumi kita semakin panas. Lapisan es di Greenland dan Antartika mulai mencair. Luas lautan es di Benua Arktik mulai berkurang. Dan itu yang terjadi.
Tidak hanya berdampak pada kehidupan manusia saja, perubahan iklim pun mengancam kehidupan pelbagai spesies tumbuhan dan hewan. Mereka terancam punah jika temperatur global meningkat dan mencapai angka tertentu. Tidak berhenti sampai di situ, nyatanya peningkatan temperatur yang telah terjadi selama abad ini telah memberi dampak negatif pada keanekaragaman ekosistem yang berperan dalam kehidupan manusia seperti penyediaan makanan dan air. Seperti itulah sebuah ekosistem saling bergantung satu sama lain, jika salah satu menghilang maka begitupun akan terjadi pada yang lainnya. Perubahan iklim sungguh bukan hal sepele, sebaliknya ia adalah isu dan tanggung jawab semua umat manusia yang ada di bumi.
Sedangkan dari semua yang ada di bumi, terdapat berbagai golongan yang akan paling terdampak. Adalah mereka negara-negara, komunitas, dan ekosistem dengan ketahanan yang rendah. Dengan kata lain, negara-negara berkembanglah yang mempunyai risiko tingkat tinggi. Itu berarti Indonesia kita sedang berada di ambang jurang. Pemerintah dan para ahli tentu sudah bergerak melakukan berbagai solusi dan kerja sama dari segala sektor. Salah satunya adalah dari PBB sebagai wadah bagi semua negara untuk membahas perubahan iklim.
Dengan mengadakan COP (Conference of the Parties) di mana ia merupakan sebuah konferensi internasional yang dihadiri oleh ratusan negara untuk menandatangani hasil akhir kesepakatan solusi yang disebut sebagai UNFCCC. COP ini sudah berlangsung semenjak 1994. Dan 2021 akan menjadi konferensi ke-26 dengan nama COP26 yang akan diadakan di Glasgow 1-.12 November mendatang, setelah adanya pengunduran jadwal dari tahun 2020 karena pandemi, namun para aktivis muda dari penjuru dunia tetap melaksanakan konferensi pada 2020 lalu meski secara daring.
Sayangnya, tidak semua konferensi berjalan dengan mulus dan masih tetap saja beberapa konferensi meninggalkan berbagai isu yang belum terselesaikan. Maka, diharapkan konferensi mendatang bisa membuahkan solusi untuk bumi kita, dan partisipasi Indonesia dengan membangun kesadaran perubahan iklim sebelum COP26 bisa tercapai. Karena, begitu memang tidak mudah untuk merealisasikannya. Dibutuhkan setidaknya partisipasi dan kontribusi dari semua pihak. Dan kita bisa mengambil peran di dalamnya pastinya.
Saya meyakini bahwa terdapat banyak sekali hal yang bisa kita lakukan. Namun, melalui dakwah menjadi pilihan saya untuk turut berperan dalam perubahan iklim. Merefleksikan dari apa yang saya pelajari di kawasan Timur Tengah dan Afrika, dakwah menjadi hal yang harus selalu dipertimbangkan. Tidak selalu bermakna menjadi da’i yang dikenal, saya meyakini dakwah bisa dilakukan entah bagaimanapun profesi kita nanti, bahkan di saat menjadi orang yang paling biasa sekalipun.
Tidak ada alasan dengan background yang hanya berspesifikasi agama untuk tidak menyentuh sama sekali isu perubahan iklim ini. Justru Islam dan ajarannya sangat memperhatikan kemaslahatan bumi dan mengecam semua hal yang merusaknya. Memang, bumi dan apa yang ada di dalamnya diciptakan untuk bisa dimanfaatkan oleh manusia. Namun begitu, bukan berarti manusia bisa seenaknya mengeksploitasi dan melupakan hasil akhir yang bisa merusaknya. Manusia harus bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan pada bumi. Kita harus memulainya.
Dan kita bisa memulai dengan mengajak saudara kita di Indonesia untuk kembali menyayangi bumi dan memperbaikinya sedikit demi sedikit. Indonesia yang terancam kita bisa menolongnya bersama-sama. Menyampaikan betapa Tuhan telah memerintahkan kita untuk menjaga bumi. Untuk selalu menjadi teman dan berhubungan baik. Untuk menghidupkan tanah-tanah yang kosong dari pepohonan, dan untuk merawat bumi agar ia selalu bersih, nyaman, pun tidak kepanasan.
Tidak sekadar mengajak, setidaknya kita harus menyampaikan pesan tersebut dengan memiliki metode dakwah yang matang dan profesional. Metode
tersebut adalah dakwah dengan menulis seperti buku, majalah, media website, dan lainnya. Lalu dakwah dengan lisan meliputi khotbah, seminar, brain storming, dan lainnya. Sampai dakwah dengan perilaku dimulai dengan memperbaiki diri sendiri hingga bisa menjadi contoh bagi lainnya. Kita pun bisa memanfaatkan medsos untuk menggaet anak muda dengan membuat berbagai konten dakwah merawat Indonesia.
Kita bisa menjadi bagian dari aktivis muda yang begitu menggebu memperbaiki bumi melalui dakwah di masing-masing tempat kita Indonesia. Bergabung dalam program pemerintah menanam pohon atau mangrove, mengelola sampah atau limbah, dan melakukan adaptasi perubahan iklim. Apalagi jika kita bisa tembus dan terpilih menjadi duta lingkungan hidup, atau bahkan duta perubahan iklim dengan cara berdakwah. Siapa tahu.
.