Membenahi Peran dan Kontribusi Alumni Timur Tengah dan Afrika di Indonesia

Membenahi Peran dan Kontribusi Alumni Timur Tengah dan Afrika di Indonesia

Oleh: Zainal Fanani (PPMI Mesir)

Sampai tahun ini, jumlah pelajar di kawasan Timur Tengah dan Afrika mengalami kenaikan. Dalam situs PPI Timtengka menaksirkan 6000 lebih pelajar Indonesia melanjutkan kuliah di Mesir. Di samping itu, penyebaran pelajar di kawasan timur tengah dan Afrika dapat dikatakan meluas dengan terbentuknya 18 organisasi perhimpunan pelajar Timur Tengah dan Afrika. Berdasarkan Data ini, menandakan bahwa terdapat faktor pendorong pelajar Indonesia memilih melanjutkan kuliah di kawasan ini.

Perkembangan ini tidak hanya diartikan bahwa Timur Tengah dan Afrika sebagai tempat ilmu pengetahuan, khusunya dalam khazanah keislaman. Lebih dari itu, peran dan kontribusi alumni yang terbukti secara konkrit bagi Islam dan bangsa Indonesia juga menjadi parameter tersendiri bagi pelajar Indonesia. Alumni Timur Tengah dan Afrika ibarat oase dalam beberapa problem-problem keagamaan maupun kebangsaan yang bergulir dalam perputaran zaman.

Peran dan Kontribusi Alumni

Peran dan kontribusi alumi Timur Tengah dan Afrika pada dasarnya dapat dilihat dalam bentangan sejarah Indonesia. Pada masa kolonial, muncul beberapa tokoh yang mengawali pergerakan kemerdekaan hingga berkontribusi lahirnya Negara Indonesia, baik melalui pemikiran ataupun mengangkat senjata kepada kolonial, salah satunya pahlawan Nasional Abdul Kahar Mudzakkir.

Pada 2019, presiden Jokowi menganugerahi gelar pahlawan Nasional kepada Abdul Kahar Mudzakkir. Kontribusinya atas kemerdekaan Indonesia telah didengungkan saat kuliah di Universitas al-Azhar dengan menjadi anggota organisasi pergerakan Jamaah Pelajar Indonesia. kemudian mendirikan Jamiah Choiriyah yang berubah nama menjadi Perhimpunan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindo), organisasi yang diakui oleh Pemerintah.

Kiprah Abdul Kahar Mudzakkir untuk Indonesia terus berlanjut dalam pembentukan Negara Indonesia dalam perdebatan seputar dasar Negara dengan kubu nasionalis. Abdul Kahar Mudzakkir menjadi anggota Badan Persiapan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dari kubu Islam menyuarakan Islam sebagai dasar negara melalui Piagam Jakarta yang dianggap sebagai kompromi antara golongan nasionalis dan Islam. Pada akhirnya ia menerima penghapusan piagam Jakarta dan mengabdikan diri dalam Pendidikan.

Memasuki orde baru, peran dan kontribusi alumni Timur Tengah dan Afrika juga mewarnai jalannya sejarah Indonesia pada masa itu. Pemerintahan diktator yang mengebiri kebebasan dengan berbagai diskriminasi terhadap beberapa etnis hingga pelanggaran HAM menyadarkan alumni Timur Tengah dan Afrika untuk menyerukan reformasi. Abdurrahman Wahid menjadi sosok menarik sebagai

representasi alumni Timur Tengah (Irak) sekaligus Afrika (Mesir) ketika menggaungkan pemikiran-pemikirannya melawan pemerintahan orde baru.

Abdurrahman Wahid mendatangkan gelombang demokrasi bagi Indonesia sebagai kunci menuju era reformasi. Di samping itu, Abdurrahman Wahid juga mengajarkan akan nilai kemanusiaan, persaudaraan, kebudayaan dalam bernegara dan berbangsa. Hingga puncaknya Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia dengan membuka kran demokrasi dan menghilangkan diskriminasi atas etnis dan memperkokoh kesatuan Indonesia.

Azyumardi Azra mengutip pernyataan Von der Mehden (dalam bukunya Two Worldrs of Islam:Interaction between Southeast Asia and The Middle East) bahwa pengaruh alumni al-Azhar (atau Kairo pada umumnya) jauh berkurang dibandingkan dengan masa-masa sebelum perang. Pernyataan ini tidak dapat diamini begitu saja, sebab pengaruh alumni Timur Tengah dan Afrika (khususnya Mesir) di Indonesia telah mewarnai berdirinya Negara hingga saat ini. Namun, kecurigaan akan hal kemunduran pengaruh alumni Timur Tengah dan Afrika mustahil untuk dihilangkan, akibat beberapa pergeseran peran dan kontribusi sejak reformasi akibat tantangan zaman yang harus dibenahi.

Terlepas akan pernyataan Von der Mehden di atas, hal terpenting adalah langkah yang harus kita ambil dalam memetakan pembenahan terhadap peran dan kontribusi alumni untuk masa depan. Setidaknya, terdapat dua permasalahan yang harus diketengahkan yaitu keberpihakan dan profesionalisme.

Keberpihakan

Tantangan bagi negara Indonesia di masa modern ini berada pada tingkat “darurat”. Persoalan keagamanaan dan kebangsaan kembali diaduk dalam teror radikalisme dan rasialisme. Belum hilang dari ingatan kita dalam beberapa tahun terkahir, persoalan radikalisme, terorisme menjadi persoalan serius bagi pemerintahan presiden Jokowi, dan waktu berdekatan gejolak Papua atas ujaran rasial yang berefek atas wacana pemisahan Papua dari Indonesia juga terjadi.

Harus diakui memang, bahwa isu-isu radikalisme dan terorisme jadi perhatian khusus bagi sejumlah alumni Timur Tengah dan Afrika dengan menterompetkan Islam moderat (wasatiyah). Hal itu didasarkan akan tidak sedikitnya motif radikalisme dan terorisme yang bersumber dari kesalahpahaman terhadap nas-nas Agama. Namun, tidak sedikit pula motif radikalisme yang berakar dari ketimpangan sosial akibat ekspoitasi kaum feodalistik terhadap kelompok lemah dan tertindas. Maka, perhatian khusus alumni Timur Tengah dan Afrika terkait isu radikalisme juga harus dibarengi keberpihakan atas masyarakat, agar cita-cita pendiri Negara ini tidak dikhianati.

Keberpihakan atas masyarakat harus kita artikan dalam makna luas sehingga tidak berotasi dalam persoalan radikalisme melainkan juga persoalan kebangsaan. Munculnya ketidakpedulian sosial yang melahirkan individualime, rasialisme sebagai cerminan Negara modern dapat melunturkan nilai-nilai Pancasila. Merawat

nilai-nilai Pancasila secara otomatis juga merawat demokrasi Indonesia, meminjam perkataan Fraz Magnis-Suseno dengan “demokrasi Pancasila”.

Dari sini, Kita harus melanjutkan nilai-nilai kebangsaan yang telah diajarkan oleh Abdul Kahhar Mudzakkir dan Abdurrahaman Wahid untuk mementingkan keutuhan sebagai bangsa Indonesia. Peran sentral alumni Timur Tengah dan Afrika tetap mementingkan pelestarian nilai-nilai keislamanan dan Pancasila di Masyarakat. Upaya pembenturan Islam dengan Pancasila jangan sampai terjadi, dan diskrimasi yang berbau rasial yang dapat memecah persatuan jangan sampai terulang lagi!

Keluar dari jebakan Profesionalisme

Kiprah Alumni Timur Tengah dan Afrika selanjutnya adalah mengabdi sebagai Intelektual dalam dunia Pendidikan (bidang yang selama ini penuh akan warna hitam putih di Indonesia). Sebagamaina intelektual pada umumnya, tantangan terbesar alumni Timur Tengah dan Afrika pada bidang ini adalah terjebak akan profesionalisme.

Jamak ditemui intelektual feodalisme di negeri ini, akibat warisan Orba yang masih berkembang. Begitu banyak intelektual yang tak terdaya akan korporasi dan birokrasi pemerintahan yang dapat menyensarakan masyarakat.

Edwad Said dalam Peran Intelektual (1993) mempertanyakan peranan intelektual di abad 20. Ia mengkritik intelektual yang menganggapnya sebagai profesi yang bertujuan materiil belaka. Peran alumni Timur Tengah dan Afrika harus keluar dan tidak terjebak dalam profesionalisme dengan melantangkan kebenaran bersama masyarakat demi kemajuan Indonesia.

Akhir kata, apakah alumni Timur Tengah dan Afrika bisa melewati berbagai tantangan yang dialami Negara Indonesia? saya sendiri optimis. Namun, kita harus ingat dan bahu-membahu dalam mewujudkan cita-cita pendiri Negeri yaitu terwujudnya masyarakat cerdas, adil, dan sejahtera.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *