Mahasiswa di Timur Tengah dan Afrika adalah Pintu Masuk Radikalisme, Benarkah?

Mahasiswa di Timur Tengah dan Afrika adalah Pintu Masuk Radikalisme, Benarkah?

Adanya  berbagai isu negatif terkait terorisme dan radikalisme yang ditujukan kepada para agamawan kini semakin gencar terdengar, terlebih pasca terjadinya ledakan bom yang terjadi di depan Gereja Katedral Makassar pada Ahad (28/3/2021). Lebih lanjut lagi, para pelajar muslim yang tengah mengenyam studi di Timur Tengah pun tak luput dari sasaran isu negatif tersebut. 

Untuk menyikapi isu tersebut, Hamzah Assuudy Lubis selaku Koordinator PPI Dunia Kawasan Timur Tengah dan Afrika (PPIDK Timtengka) periode 2020/21, lantas memberi tanggapan dengan sebuah pertanyaan yang masih menjadi sebuah ‘stigma’ di beberapa kalangan masyarakat di Indonesia:“Apakah para mahasiswa di Timur Tengah dan Afrika justru menjadi pintu masuk berbagai paham terorisme dan radikalisme yang merebak di Indonesia?”

Dalam sebuah webinar bertajuk “Penguatan Sinergitas Antara PPI Dunia dan Atase Pertahanan di Seluruh Dunia” yang dilaksanakan pada Kamis, (8/4/2021) lalu, Hamzah yang hadir sebagai salah satu panelis, menjelaskan bahwasanya mahasiswa di Timur Tengah dan Afrika sejatinya berdomisili di 18 negara yang saling terhubung. Hingga kini, jumlah mahasiswa di kawasan ini telah mencapai 17.000 orang dengan Mesir sebagai negara dengan total mahasiswa Indonesia terbanyak, yaitu sekitar 10.000 orang. Adapun  7000 orang sisanya tersebar di 17 negara lainnya.

Hamzah pun menjelaskan bahwa mayoritas mahasiswa di Timur Tengah dan Afrika aktif dalam pembelajaran Ilmu Syariah dan Dirâsah Islâmiyyah. Mereka pun senantiasa diberikan pemahaman agama yang benar oleh para ulama agar nantinya mereka dapat mengemban misi perdamaian setibanya di Indonesia. Selain mempelajari berbagai bidang keilmuan Islam, sebagian dari mereka juga turut aktif mempelajari bidang kedokteran, science and technology, dll.

“Kita tidak pernah diajarkan kekerasan, merakit bom, maupun segala hal yang terindikasikan sebagai tindak terorisme dan radikalisme,” tegas Hamzah.

Lantas, siapa sebenarnya para pelaku terorisme dan radikalisme? Bisa siapa saja dan dimana saja bahkan oknum-oknum tersebut telah terorganisir dan jaringannya pun luas bahkan hingga taraf internasional, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Brigjen TNI Rudy Rachmat, S. Sos, M. Si. Direktur E. BAIS.

Lebih lanjut, Hamzah menjelaskan bahwa paham radikalisme dapat muncul karena pemahaman agama yang salah, doktrin yang tidak benar, brainwash dari oknum-oknum berkepentingan, juga dorongan emosi yang kuat kepada suatu kelompok tertentu.

“Satu hal yang harus kita pahami bersama adalah bahwa terorisme sudah pasti radikal, akan tetapi yang radikal belum tentu teroris. Terorisme itu tidak bersumber dari agama, ras maupun suku,” ungkap Hamzah.

Hamzah lantas menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme bukan bersumber dari ajaran agama Islam. Sejarah telah mencatat bahwa nyatanya terorisme itu dapat berasal dari mana saja. Hal ini patut ditekankan agar fenomena sosial semacam Islamophobia tidak lagi menjamur dalam benak pikiran masyarakat pada umumnya.

“Saya juga ingin menyampaikan bahwa kita mahasiswa di Timur Tengah dan Afrika percaya bahwa apa yang sudah menjadi kesepakatan para pendahulu kita, yaitu 4 konsensus RI (Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika) adalah harga mati!” tegas Hamzah.

Dalam webinar yang dilaksanakan oleh PPIDK Timtengka ini, Letjen TNI Joni Supriyanto selaku kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI diundang sebagai Keynote Speaker dalam webinar ini. Selain itu, 39 Atase Pertahanan dari berbagai KBRI di seluruh dunia, beserta 60 ketua PPI Negara di seluruh dunia juga ikut berpastisipasi dalam webinar ini.   

Selain pelaksanaan webinar ini, PPIDK Timtengka sebelumnya telah menginisiasi berbagai program webinar dan seminar yang bertujuan utama untuk memberi pemahaman kepada masyarakat betapa berbahayanya pemahaman terorisme dan radikalisme bagi keutuhan bangsa, sekaligus untuk menyikapi berbagai isu radikalisme yang tertuju pada umat muslim.

Dalam waktu dekat ini, PPIDK Timtengka pun akan mengadakan sebuah Simposium yang akan dilaksanakan di Mesir pada tahun 2021 ini dengan mengangkat tema besar “Moderasi Beragama Dalam Dinamika Berbangsa dan Bernegara Pasca Covid–19”. Program ini pun selaras dengan berbagai program yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia, khususnya oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Reporter: Muh. Nur Taufiq al-Hakim

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *