Jalanan yang Sepi dan “Ngabuburit” Ala Mahasiswa Pakistan

Jalanan di sekitar sektor E-7, Islamabad, Pakistan tampak lengang pada Ahad (02/05/21) petang. Betul saja, waktu itu jam menunjukkan pukul 18:15 PKT (Pakistan Time). Waktu tersebut berarti menjelang 30 menit buka puasa.

Ramadhan memang selalu menciptakan kisah-kisah menarik dan unik. Terlebih, masing-masing tempat, daerah bahkan negera mempunyai ciri khas yang bisa dikisahkan. Di Indonesia sendiri, ada beberapa istilah yang tidak bisa dilepaskan dari Ramadhan. Seperti takjil, ngabuburit, patrol sahur, mudik, dan hal-hal yang hanya bisa ditemukan di Indonesia.

Beda Indonesia, beda halnya juga dengan Pakistan. Sebuah Negara yang terletak di daerah sub-continent (Anak Benua india). Meskipun secara geografis Pakistan merupakan salah satu Negara di bagian Asia Selatan, akan tetapi tradisi dan budaya masyarakat setempat lebih condong ke Negara di Timur-Tengah dan Afrika. Khusunya, dalam hal makanan dan tradisi ibadahnya.

Jika weekdays di luar bulan Ramadhan, jalanan sekitar Islamabad dengan waktu yang sama bisa dipastikan sedikit macet. Para pekerja kantoran yang meringsut pulang menuju rumahnya adalah sebagian besar pelaku kemacetan ibu kota Pakistan itu. Namun berbeda, Ramadhan seakan menyihir suasana jalanan Islamabad. Antusias masyarakat dalam berbuka memang sedikit berbeda dengan Indonesia.

Jika di Indonesia, khususnya kota-kota besar, jalanan utama akan hiasi dengan para pedagang ta’jil dadakan yang menawarkan jajanan mereka di sepanjang jalan, namun Pakistan berbeda. Sepanjang jalan utama sama sekali tidak ditemukan para pedagang dadakan.

Keterangan: Jalanan di sektor F-7, Islamabad yang terlihat sepi dan lengang. (Foto: Sandi Sundusi Effendy Dodi Pedro)

“Wah Pakistan mah beda, kalo menjelang berbuka mah jalanan jadi tempat buka dadakan,” ungkap Galang Kevin, mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh pendidikan Sarjana di International Islamic University of Islamabad (IIUI).

Di perempatan sektor F-7, tak jauh dari asrama IIUI, Kevin bersama 5 temannya menunggu waktu berbuka sambil berbincang santai. Tepi jalan yang agak terjal ke atas, dan tanah yang diselimuti rumput hijau menjadi tempat strategis untuk sekedar dijadikan tempat bersantai. Tak jauh dari tempat mereka, masyarakat setempat juga berkumpul sambil melingkar dengan sajian berbuka yang telah disediakan.

“Kami sudah biasa dengan suasana seperti ini setiap Ramadhan, jalanan di manapun bisa kami jadikan sebagai tempat berbuka,” kata Adnan berbahasa Urdu (bahasa resmi Pakistan), pemuda asal Rawalpindhi (sebuah kota sebelah Islamabad) yang juga sedang menunggu waktu berbuka seperti Kevin dan kawan-kawannya. Kebetulan Adnan sedang melintas jalanan itu dan memilih untuk berhenti.

Sayup-sayup suara gerombolan burung gagak menghiasi langit sore Islamabad. Lampu-lampu di sepanjang jalanan satu persatu mulai menyala. Matahari yang siang tadi terasa begitu terik kini perlahan mulai hilang. Perpaduan antara langit yang semakin gelap, dan jalanan yang sama sekali tidak dilintasi kendaraan membuat suasana semakin syahdu. Adnan yang duduk tak jauh dari rombongan Kevin, bibirnya sesekali terlihat sedang berdzikir.

Pukul 18:50 tepat, suara adzan Maghrib terdengar saling bersahutan. Sesekali, suaranya seperti menggema di udara. Jalanan terlihat begitu sepi, tak ada satupun kendaraan yang melintas. Hanya terlihat orang-orang yang melingkar duduk sambil menyantap menu berbuka mereka. Kevin yang sudah berbekal samosa (makanan khas Pakistan yang terbuat dari kentang) dan buah-buahan mulai menyantap bersama kawan-kawannya.

“Meskipun tidak sama persis seperti bakwan dan tempe goreng, setidaknya kita berbuka dengan gorengan,” celetuk Kevin dan disaut tawa kecil teman-temannya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *