Apa yang Luput dari Moralitas Kita?

Apa yang Luput dari Moralitas Kita?

Penulis:
Hamidatul Hasanah

Dalam opini kebanyakan orang, moralitas selalu terkait dengan agama. Semakin religius seseorang, maka ia akan dianggap semakin mengerti tentang etika yang oleh karenanya ia akan lebih dihargai dan diperlakukan berbeda dari awam kebanyakan. Sebagai contoh, pada tahun 1980, seorang gubernur di sebuah kota New York ingin mengundang beberapa panelis untuk berbicara tentang isu-isu moral.

Jika kita ditanya, siapakah yang akan menduduki kursi panelis tersebut? Jawabannya ialah mereka yang mewakili organisasi keagamaan. Faktanya, dalam banyak rumah sakit di Amerika Serikat selalu terdapat komite moral yang terdiri dari tiga jenis anggota: tenaga kesehatan, pengacara, dan perwakilan agama. Jika sebuah media ingin berkomentar tentang suatu hal yang terkait dengan etika, maka ia akan langsung dihadapkan kepada pendeta. Sedangkan dua jenis anggota lainnya hanya akan memberikan ceramah dan masukan-masukan, itu pun jika memang diperlukan.

Apa yang menyebabkan para pendeta dihormati sedemikian rupa? Hal itu bukan karena mereka lebih baik dari kebanyakan orang. Mereka dihargai lebih hanya karena (asumsi) wawasan moral yang berbeda dari awam. Sebagaimana telah diketahui, agama (apapun itu) mengajarkan nilai-nilai kebaikan, sehingga pada saat di mana mereka ialah orang-orang yang berbicara mengenai agama, maka tidak diragukan lagi bahwa merekalah yang otoritatif berbicara tentangnya. Dalam tataran ini, hal yang sama juga terjadi di lingkungan kita, bukan? Seorang kiai, syekh atau guru agama bahkan anak-anak beliau, selalu diberi penghormatan lebih.

Namun benarkah moralitas selalu berkelindan dengan agama?

Agama, menurut budaya Timur, ialah sumber segala nilai. Puncak dari argumentasi ini ialah Al-Quran yang mengatakan bahwa akhlak Nabi ialah Al-Quran, dan hadis Nabi yang mengatakan bahwa ia diutus sebagai penyempurna akhlak manusia. Hubungan antara spiritualitas dan moralitas yang sejajar ini telah banyak dibahas. Salah satunya, penelitian  Scott J. Vitell dan kawan-kawan yang berjudul Spirituality, Moral Identity, and Consumer Ethics: A Multicultural Study. Ia menyatakan bahwa standar moral, penilaian, kepercayaan dan perilaku keseharian seseorang dipengaruhi erat oleh agamanya. Semakin tinggi spiritualitas seseorang, ia akan semakin memandang moral sebagai pedoman dan filsafat hidupnya.

Saya merasa kesulitan mendedah persoalan tersebut melalui kajian-kajian moral yang ada di literasi Islam. Mengapa demikian? Karena kajian moralitas dan etika yang ada dalam kultur kita tadi, baik klasik maupun kontemporer, tidak terlepas dari dua hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekh Muhammad Abdullah Diraz. Pertama, literasi yang berjenis ceramah umum dimana puncaknya ialah memberikan ‘kepercayaan’ bahwa keutamaan ialah nilai tertinggi. Kedua, cerita tentang pembagian karakteristik jiwa manusia yang disusul pengertian keutamaan, yang kebanyakan bergenre Platonisme atau Aristotelian (mazhab etika falsafi seperti Ibnu Miskawaih). Selain itu, apa yang mendominasi kita hari ini ialah mazhab etika yang sifatnya ‘irfaniatsariy, atau gabungan antara keduanya (tawfiqy) seperti Ihyâ’ Ulûmiddîn, Risâlah al-Qusyayriyyah, Manâhil al-Sâ’irîn, dan Qût al-Qulûb. Bagaimana manusia bisa mencapai kemuliaan hakiki? Tentu saja, dengan pensucian diri (tazkiyatu al-nafs).

Jika kita ingat tulisan Muhammad Nurthariq, Apa yang Selama ini Mempengaruhi Moralitas Kita? yang dimuat di Kintaka.co beberapa waktu lalu, maka akan kita dapati satu benang yang setidaknya bisa kita ulur untuk membincang persoalan tadi. Dalam tulisan tersebut, ia menjelaskan bagaimana sebuah lisensi moral terbentuk—atau dalam bahasa Kant: legalitas—dan apa faktor yang melatarbelakanginya. Pemaparan di sana lebih condong kepada aspek psikologi individu (dan ini kebanyakan sisi yang diambil para peneliti Barat) dari pada sisi agamisnya. Barangkali tulisan ini akan menaruh sudut pandang yang tak jauh berbeda di tengah paham Ahlussunnah wal Jamaah yang sering kali hanya akan terbentur dinding sopan santun yang normatif.

Sebagai seorang filsuf etika, Kant ingin membedakan betul antara legalitas dan moralitas. Dalam filsafat moralnya, Kant menempatkan kehendak nurani sebagai—meminjam bahasa Syekh Diraz—sumber kewajiban (mashdar al-ilzâm: obligation). Laku moral ialah apa yang sesuai kehendak hati, dan amoral ialah apa yang selain itu. Atas sebab inilah, Syekh Diraz memuji bahwa teori moral Kantian sesuai dengan nilai-nilai yang disarikan dari al-Quran. Kehendak yang bisa digeneralisasi tadi pada akhirnya akan menjadi otonomi diri, yang menurut Heidegger, tidak mungkin menyimpang dari aturan-aturan kebajikan. Dari sini, maka legalitas sederhananya ialah sesuatu yang dilakukan di luar otonomi kehendak nurani, sebuah pengabaian atas obligasi moral.

Berawal dari kehendak nurani tadi yang ‘merasa’ adanya suatu dorongan atas tindakan tertentu, kita bisa merasakan ‘apa yang wajib ada’, atau paling tidak ‘apa yang semestinya bisa kita terima, kita hormati, kita utamakan’. Perasaan ini merupakan sisi diri yang membedakan nilai moral dari nilai-nilai lainnya. Oleh karena itu, obligasi moral sebagai kondisi tertentu dari ‘apa yang wajib ada’ tidak semestinya kita campuradukkan dengan perasaan tadi. Semisal perasaan kita atas sesuatu membuat kita mengatakan bahwa ‘proposisi ini benar’, maka artinya ‘kita wajib menerima proposisi tersebut’. Atau ‘bunga ini lebih indah warnanya dari yang lain’ memiliki arti bahwa ‘saya memilih bunga ini dari bebungaan lainnya’, bukan karena saya wajib memilih dan Anda juga demikian.

Lantas bagaimana bisa kita memahami keputusan-keputusan moral yang diambil seseorang? Apa yang saya maksud di sini lebih kepada proses pergulatan jiwa dalam memenangkan super ego dari ego dan id (Sigmund Freud), atau potensi berpikir (al-quwwah al-nâthiqah) dari potensi ego dan animalitas (Socrates). Sebuah penelitian berjudul A Behavioral Ethics: A Critique and A Proposal yang dilakukan oleh Carol Frogley Ellertson, Marc-Charles Ingerson dan Richard N. Williams menyatakan bahwa perkembangan moral (moral development) merupakan instrumen terbaik untuk memahami pengambilan keputusan yang etis.

Apa yang ingin dicapai dari penelitian tersebut ialah perpindahan dari justifikasi/penilaian, intuisi, emosi menjadi penilaian moral, intuisi moral dan emosi moral. Kohlerberg mengklaim bahwasannya tindakan partikular tidak bisa dikatakan etis kecuali jika muncul sebab penilaian moral yang berasal dari proses kesadaran atau kognisi. Terkadang suatu tindakan yang muncul sebagai tekanan lingkungan tidak terlepas dari dua kondisi: satu, di mana seseorang mengerti bahwa ia salah secara etika, namun tidak mengerti mengapa ia melakukannya (intentional unethical behaviour), dan dua, ia terbiasa melakukan hal non-etis tanpa menyadari bahwa ia demikian (unintentional unethical behaviour).

Saya kira apa yang sedang kita bahas mengerucut pada poin pertama, di mana biasanya seseorang melakukan tindakan non-etis sebab dukungan orang-orang yang ada di lingkarannya. Ia mengerti bahwa meskipun ia ketahuan, ia tidak akan merugi sebab orang-orang dalam komunitasnya akan diam; entah karena bersepakat, entah karena merasa terbiasa (tabiat jenis ini akan segera menyadari, berefleksi dan bertaubat), ataupun bungkam yang disebabkan oleh hegemoni perbedaan kasta. Atas sebab inilah, Max. H. Bazerman dan Fransesca Gino dari Harvard Bussiness School menyatakan bahwa moral ialah dinamis dan lunak.

Tidak demikian menurut cendekiawan muslim seperti Syekh Muhammad Abdullah Diraz. Moral ialah mutlak. Jika kita ingin mewujudkan diri seutuhnya, maka prinsip-prinsip moral yang ada di al-Quran wajib diamalkan semampunya. Berbeda dengan Rabi’ Maimun, seorang cendekiawan Algeria, yang menyatakan bahwa moral secara sumber ialah mutlak, namun secara praktis ia bersifat nisbi.

Berangkat dari itu semua, mungkin kita mesti berpindah dari teori-teori moral ‘irfani ke teori-teori moral falsafi.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *